Stasiun Pasar Senen



            Jam berdentang menunjukkan pukul 4 sore, matahari telah menurun sampai 50’ aku masih terduduk di atas koper kotak-kotak cokelatku di belakang gerbang masuk peron. Sebenarnya banyak tempat duduk kosong, entahlah aku hanya merasa nyaman duduk menyelojor di bawah. Menikmati kesendirianku di sini, berada jauh dari keramaian yang asing. Tiba-tiba ada serombongan keluarga besar datang. Ada ibu, bapak, nenek, dua anak laki-laki, tiga anak perempuan. Sepertinya mereka hendak pulang kampung, dari bahasa Jawa yang mereka ucapkan dan barang bawaan mereka yang terbilang banyak. Dan… mereka berhenti tepat di sebelah kananku, menggeser sedikit tempat dudukku sehingga akupun semakin berada dekat tempat sampah. Huh, kan aku yang lebih dahulu duduk di sini!
            Aku masih mengamati mereka satu persatu. Oh, anaknya tertua mereka laki-laki, dan ia baru saja pulang dari kantornya tanpa mengganti pakaian kerjanya karena takut terlambat kereta. Ia hanya menambahkan jaket di atas baju kantornya dan tetap menggendong ransel hitam yang tampaknya berisi pekerjaannya. Lalu aku berpaling kepada seorang ibu-ibu yang cukup umur, yang dipanggil embah oleh anak-anak perempuan berpakaian merah jambu itu dan tampaknya mereka sangat menyayangi neneknya tersebut. Aku melihat mereka menggandeng tangan sang nenek, mungkin agar tidak terjatuh. Sampai saat ini, aku jarang sekali melihat cucu yang sebegitu sayangnya pada sang nenek.
            Merasa aku perhatikan, sang ayah dengan boso Jowo-nya berkata, “Yuk, kita ke peron. Ini diliatin terus sama mbak itu.” Kontan, akupun memalingkan wajahku mengedarkan pandangan ke antero ruang tunggu stasiun. Mataku berhenti pada lelaki berusia sekitar 24 tahunan yang memakai polo shirt berwarna merah, celana jeans hitam sedengkul, kaos kaki merah semata kaki, sepatu kets merah serta tas selempang hitam. ‘Wow merah banget!’ ucapku dalam hati. Tanpa kusadari ternyata rombongan keluarga tadi sudah beranjak dari sisiku dan ketika aku menoleh ke samping kanan. ‘Yeah, kosong!’ Aku tersenyum dan melebarkan lapak tempat dudukku.
            Mengapa aku memilih duduk di bawah sini? Pertama, ini di ruang tunggu, bukan di peron. Terlalu banyak orang yang merokok di peron dan aku sangat membenci semua perokok seumur hidupku. Beda dengan di dalam sini, ada tulisan dilarang merokok dimana-mana dan penumpang tampaknya mematuhi peraturan tersebut. Di ruang tunggu ini, jarak antara lantai dengan atap cukup jauh, sekitar 5 meter dari permukaan tanah. Langit-langitnya yang berwarna putih mempunyai kesan bahwa ini adalah bangunan yang telah dibangun ratusan tahun yang lalu. Model ventilasinya yang tampak seperti ventilasi jaman Belanda dulu. Banyak sarang laba-laba di sudut internit, tanda bahwa sudah terlalu lama stasiun ini jarang dibersihkan. Semua hal ini sangat menarik perhatianku. Ingin rasanya aku mengeluarkan Canin-ku sekarang juga untuk mengabadikan suasana di Stasiun yang berada di tengah kota Jakarta ini. Tetapi, mengingat perkataan ibuku, bahwa banyak orang yang mempunyai tangan yang cukup panjang di sini, simpanlah barang berhargamu di tempat yang aman. Akupun enggan mengeluarkan EOS 600D-ku itu. 

       Kedua, dari dalam sini, aku dapat mendengar suara petugas yang memberitahukan kapan kereta datang dan kapan kereta berangkat. Sungguh tempat yang sangat strategis bagiku. Di sini juga aku masih dapat menonton televisi (walaupun jaraknya cukup jauh). Di samping itu, dari sini aku masih dapat melihat kereta yang pergi dan kereta yang datang, seperti kereta yang ada dihadapanku ini.
            Aku mengamati kereta itu. Gerbongnya masih bagus, sepertinya ini kereta keluaran terbaru. Aku jadi teringat kata-kata kakakku, ‘Kereta yang bisnis yang paling bagus sih Majapahit.’ Dan tepat setelahnya, terdengar bunyi khas saat kereta datang dan seseorang berbicara melalui speaker, “Kereta Majapahit jurusan Stasiun Malang telah sampai di Stasiun Pasar Senen, penumpang yang telah mempunyai tiket diharapkan segera menaiki kereta karena kereta akan berangkat sebentar lagi.” Aku masih tidak sadar, pikiranku masih membayangkan bagaimana asyiknya naik kereta sendirian. Sampai aku melihat beberapa orang yang tadinya duduk telah terbangun dan menaiki kereta. Lantas aku bertanya pada seorang remaja perempuan yang duduk di sebelahku, “Mbak maaf, kereta apa yang baru saja datang?” “Oh, itu Majapahit, Mbak.” jawabnya sambil terus memainkan telepon selulernya. Dalam hati aku sedikit kesal karena ia sama sekali tidak menatapku saat ia berbicara padaku. Sedikit manusia jaman sekarang yang dapat dengan mudah menghargai manusia lainnya. Kemudian aku segera berdiri setelah mengucapkan terima kasih dengan seulas senyum padanya. Entahlah aku tidak melihat lagi dia membalas senyumku atau tidak.
            Kulihat seorang petugas peron sedang berdiri di tengah padatnya masyarakat Ibukota yang hendak pulang ke kampong halamannya masing-masing. Kudekati ia sambil mengeluarkan tiket dari kantong jaket denimku, “Permisi, Pak. Kalau gerbong 3 dimana ya Pak?” tanyaku sembari menyodorkan tiketku padanya. Tapi ia masih terus mengatur arus manusia yang berlalu lalang di stasiun itu. ‘Huh, pasti dia mengacuhkanku.’ ujarku sambil memasukkan karcis kembali ke dalam kantong jaketku. Aku melihat ke gerbong terdekat yang berada dihadapanku, tertera angka 3 di sana. Ketika aku hendak melangkah mendekati gerbong itu, petugas yang tadi kutanya tiba-tiba berkata, “Tuh gerbong 3, yang ada angka tiga-nya itu neng.” ‘Oh, thanks God ternyata benar.’ ”Terima kasih Pak.” ucapku sambil menganggukkan kepala dan segera menarik koperku menjauh darinya. Aku menoleh sekali lagi memastikan wajah bapak tadi, kuamati figurnya sekilas. Rambut keriting cepaknya tertutupi topi tentaranya, mukanya bulat seperti tubuhnya yang gempal, dan terakhir kulihat kakinya, ya ampun ternyata sedikit pincang. Kasihan sekali bapak itu, semoga Tuhan membalas segala kebaikannya di akhirat kelak.


            Aku sudah sampai di depan pintu gerbong 3 dan hendak menaiki tangga yang disediakan khusus untuk penumpang kereta. “Uugh… berat sekali koperku, bawa apaan aja sih gue?” Akhirnya setelah mengeluarkan segenap tenaga yang aku miliki, koperku pun berhasil berpindah posisi. Aku bergegas masuk ke dalam gerbong…………………..


Read on the next chapter, On The Train (2)


With love,
White Rose

Comments

bob said…
yah bersambung :(
DOKTER NINIS said…
hai bob, thanks for read :) maaf ya aku gak sempet update :( doain aja biar sempet nulis lagi, makasiih

Popular posts from this blog

Hiduplah karena Ingin Hidup

Sepatu Favorit

Ini tentang Iman kepada Allah