Sepatu Favorit

Sudah dua tahun aku hidup bersama Nisa. Aku selalu mendampingi Nisa di luar rumah. Langkah demi langkah, kami lalui bersama. Saat matahari sedang terik-teriknya, aku menemani Nisa berjalan melewati jalanan beraspal di Ibukota. Kami berjuang bersama di tengah udara kotor hasil pembakaran mesin kendaraan bermotor. Menghirup oksigen yang sudah banyak terkontaminasi karbon dioksida dari ratusan kendaraan bermotor di Jakarta.


Suatu ketika Nisa mengajakku ke daerah baru yang lebih sejuk. Kami menempuh perjalanan sekitar 3 jam dari Jakarta dengan menggunakan mobil yang dikendarai oleh Nisa. Hari itu hari Minggu. Kami berangkat sebelum matahari terbit, sesudah Nisa melaksanakan sholat Subuh. Selama perjalanan, matahari belum menampakkan batang hidungnya. Langit terus berwarna kelabu. Setetes dua tetes air turun dari langit menimpa kaca depan mobil. Nisa bergegas menyalakan penyeka kaca depan agar pandangannya tidak terhalang oleh air hujan. Hari itu hujan sangat deras. Nisa turun dari mobil bersamaku. Ia membuka payung lipat kecilnya yang berwarna biru muda. Nisa bisa saja menghalau air yang menetes dari langit dengan payung, namun ia tidak dapat menghindari genangan air di hadapannya. Jika ia melompat, jaraknya terlalu jauh. Akhirnya, kaki kanan Nisa jatuh ke dalam genangan air bersamaku. Badanku basah. Aku berusaha keras agar tidak membasahi kaki Nisa, tapi ternyata tidak bisa. Badanku terbuat dari canvas, sehingga air mudah terserap olehku. Telapak kaki Nisa mulai terasa dingin. Kaos kaki yang menyelimuti kaki Nisa juga sudah basah.

Sesampainya di sebuah rumah besar yang ternyata adalah vila keluarga Nisa, untuk pertama kalinya, ia meninggalkanku di teras rumah. Ketika hujan reda, ia pergi ke warung seberang villa meminjam sendal milik kakaknya. Ia kembali dengan membawa plastik berisi sendal jepit berwarna putih biru dengan ukuran 10,5. Matahari sudah muncul. Nisa membuka tali-tali yang mengikat badanku, lalu ia menarik bangku dan meletakkannya di bawah terik matahari. Aku pun berdiri sepanjang hari, menyerap cahaya matahari sedalam-dalamnya agar lekas kering dan dapat digunakan kembali ketika ia pulang ke Jakarta nanti.


Di lain waktu, Nisa mengajakku ke daerah terpencil. Setelah turun dari perahu mesin kecil yang sering disebut klotok, dengan gagah berani Nisa membawaku menuju mobil tempat ia dijemput. Jalanan yang akan dilewatinya terlihat basah bekas hujan. Satu langkah, aman. Dua langkah, masih aman. Langkah ketiga, Nisa tidak dapat menarikku dengan mudah. Aku terikat dengan tanah di bawahku. Ternyata, tanah di bawahku sudah tercampur lumpur. Akhirnya, Nisa melepasku dari kedua kakinya. Lalu ia menarikku dengan tangannya dan memasukanku ke dalam kantong kresek. Pada hari itu, aku merasa gagal melindungi Nisa dari tanah berlumpur.


Malam ini, Nisa mengajakku pergi ke pusat perbelanjaan terkenal di daerah selatan Jakarta. Aku senang karena Nisa tidak pernah malu berjalan denganku. Baik ke tempat terkenal seperti sekarang, atau ke tempat terpencil sekalipun. Badanku sudah robek. Tali yang mengikat badanku sudah terganti dua kali. Entah kemana yang tali aslinya. Warnaku sudah berubah dari biru tua, menjadi abu-abu. Kaki Nisa melangkah ke sebuah toko dengan logo berwarna putih jingga. Jantungku berdebar. Nisa berbicara dengan pramuniaga, tak lama kemudian pramuniaga itu membawa kardus kotak berwarna hitam. Nisa duduk di kursi kosong dan membuka kardus itu, mengeluarkan sepatu baru dan mencobanya. Tampak pas dan bagus di mataku. Nisa memasukkan kembali sepasang sepatu itu ke kardus dan menuju kasir. Setelah selesai membayar, Nisa duduk kembali. Ia melepasku, lalu ia mengambil sepatu barunya dan memakainya. Ia memasukkanku ke dalam kardus dan berkata, “Terimakasih sudah menemaniku berjalan selama ini.”



Muara Maruwei 1, 15 September 2024

-Nis

#30DWC #30DWCJilid47 #Day5

Comments

Popular posts from this blog

Aku ingin Tinggal di Istana

Hiduplah karena Ingin Hidup