Laporan kepada Ibu

“Bu, bu, au mam aci ma yam reng….” ujar Gibran sambil memegang robot ultraman merah di tangan kanannya. 

Maksud perkataannya adalah bahwa ia makan nasi dengan lauk ayam goreng. Tak lama kemudian, ia mengambil robot ultraman hitam di tangan kirinya.

“Duarr…” katanya sambil mengadu kedua ultraman tersebut dengan kedua tangannya. Seolah-olah keduanya sedang bertarung dalam memperebutkan sebuah teritorial kekuasaannya. Tak lama kemudian, anak yang bulan November tahun ini genap berusia 3 tahun itu pun asyik dengan kegiatannya tersebut.


“Gibraaan, ayo bangun, Nak. Kamu harus sekolah. Ini hari pertama sekolah.” ujar seorang wanita berusia pertengahan 30, sambil merapikan posisi bantal. Tangannya kemudian menggoyangkan badan Gibran perlahan. Berharap agar anak sulungnya lekas terbangun karena jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.00 waktu indonesia bagian barat. Dimana jam mulai sekolah pukul 07.00. Hari ini adalah hari pertama Gibran duduk di bangku sekolah dasar. Gibran hari ini sudah berusia 7 tahun. Umur yang tepat untuk memulai pendidikan wajib bagi anak.


“Assalamualaikum….” kata Gibran sambil membuka pintu depan rumah. Terlihat olehnya sang ibu sedang mengepel lantai ruang tamu rumah mereka.

“Waalaikumussalam..” jawab Ibu sambil mencelupkan kain pel ke dalam ember berwarna hitam lalu memeras kainnya. Air-air berjatuhan dari kain itu menuju ember hitam, beberapa percikan jatuh ke lantai.

“Bu, tadi aku tidak telat masuk kelas.” cerita Gibran. “Aku hari ini belajar mengeja dengan Bu Sari.” lanjutnya. “Bu Sari baik sekali mengajarnya perlahan, aku jadi paham.” Ibu mendengarkan dengan seksama sembari menganggukkan kepala.


“Sudah kamu siapkan semuakah perlengkapannya?” kata Ibu. “Jangan sampai ada yang terlupa.”

Hari itu Gibran pergi merantau ke pulau sebrang, meninggalkan Ayah, Ibu, dan kedua adiknya di tanah Borneo. Gibran akan menduduki bangku kuliah tahun itu.

“Sudah semua Bu, nanti yang kurang aku beli di kota saja.” Jawab Gibran.


Empat tahun berselang, Gibran sudah lulus kuliah, sudah mulai bekerja di Pulau Jawa, meninggalkan kedua orang tuanya di Tanah Borneo.


Dua tahun setelahnya, Gibran kembali ke Tanah Borneo.

“Ibu, hari ini Gibran datang bersama Naila. Cucu Ibu. Naila sudah bisa berjalan bu, sudah pandai berbicara dan bercerita juga. Kalau ini, namanya Ilmi, Bu. Menantu Ibu, Ibunya Naila. Ibu, maaf ya Gibran belum sempat mengenalkan Ilmi langsung. Kami sayang Ibu. Naila sayang Uti.”


Gibran memimpin doa untuk Ibu, lalu berdiri, diikuti oleh Ilmi dan Naila. Mereka bertiga saling rangkul memandang sebuah nisan di hadapan mereka. Tak lama, Gibran melangkah lebih dahulu, meninggalkan makam Ibu. Walaupun mereka sudah berbeda alam, Gibran berjanji, akan terus melaporkan setiap detail kehidupannya kepada Ibu.


Muara Maruwei 1, 13 September 2024

-Nis

#30DWC #30DWCJilid47 #Day3

Comments

Popular posts from this blog

Hiduplah karena Ingin Hidup

Sepatu Favorit

Ini tentang Iman kepada Allah