Percakapan dengan Pasien
Mama Andi, perempuan paruh baya yang mengeluhkan sakit gigi, sudah berada di dalam Poli Gigi Puskesmas. Aku sebagai dokter gigi, bertanya secara menyeluruh. Namun, masih jawabannya masih tidak dapat kujadikan pegangan untuk menegakan diagnosa. Kepalaku saat itu sangat pusing. Penyakit vertigo kembali menyerangku. Aku berpegangan pada sudut meja kerjaku. Dalam hatiku ingin sekali aku minta pulang pagi ini, tapi mengingat perjuangan Mama Andi, aku mengurungkan niat.
Setelah kepalaku terasa agak ringan, aku mengajak Mama Andi untuk duduk di kursi gigi. Saatnya aku meluncurkan aksi basa-basi.
“Ibu Fitri, apakah sudah pernah ke dokter gigi sebelumnya?” Mama Andi menggeleng.
“Wargi di dieu, biasa nyebut Abi mah Mama Andi, Bu.” jawabnya. ‘Warga di sini biasa memanggil saya Mama Andi, Bu.’
Baik, ditanya A, jawabannya B. Saat itu aku belum menyadari satu hal penting.
“Baik, Mama Andi, sudah pernah berobat ke dokter gigi?” tanyaku sembari tersenyum, palsu, karena tertutup masker.
“Ieu kamari nyeri pisan, kena titik sirah kuring, Neng.“ ujar Mama Andi sambil mengarahkan jarinya dari ujung rahang sampai kepala. Kemarin ini sakitnya sampai kepala, Neng.”
Tidak apa-apa, yang penting satu pertanyaan terjawab. Bertanya apalagi diriku ini. Astaga, ternyata Mama Andi tidak dapat berhasa Sunda!
“Mama Andi teh tos tuang?” tanyaku dengan bahasa Sunda, yang artinya, “Mama Andi sudah makan?”
“Atos Neng Geulis, pas keur tuang teh, nyeri pisan, teu tahan. Abi tos nginum obat.” jawabnya.
Muara Maruwei 1, 24 September 2024
- Nis
#30DWC #30DWCJilid47 #Day14
Comments