Sebatang Coklat
Aku tidak peduli siapa kamu, sampai kamu
memberikanku sebatang coklat...
Adzan berkumandang di sela-sela sinar mentari yang membakar kulit. Tetapi
tidak cukup merubah warna kulitku, karena aku duduk di dalam gedung dimana
pendingin ruangan bereaksi lebih banyak dibandingkan partikel panas mentari.
Aku duduk diam di atas bangku keras berwarna biru yang berada pada sudut
ruangan berukuran 15 x 10 m itu. Tak lupa kusentuh layar iPad-ku sembari mengetikkan pesan balasan untuk temanku. Ketika
pesanku belum terbalas lagi, aku menyadari kesendirianku ini.
Sepi.
Sendiri.
Menjadi manusia introvert itu tidak enak, ya? Hanya diam memandangi
keadaan sekitar tanpa kata. Mengkhayalkan sesuatu yang belum pasti terjadi.
Kupandangi sekelompok manusia berbeda jenis yang bercengkrama di tengah
ruangan. Ingin sekali rasanya aku seperti mereka, tertawa lepas, tersenyum
tanpa paksaan, dirangkul oleh sahabat. Apalah dayaku. Aku ini siapa? Hanya
orang baru diantara mereka yang lebih berpengalaman dan lebih mahir.
Tapi tiba-tiba.....
“Kamu di sini aja kan?”
Aku tersentak, lalu terbangun dari lamunanku.
“Iya, memangnya kenapa?” jawabku dengan muka datar,
muka kesal sebenarnya, karena dia telah mengganggu khayalanku. Tetapi aku
pandai menyembunyikan raut wajah, mungkin ia tidak menyadarinya.
“Mau minta tolong titip tasku, ya.” katanya sambil
melepaskan tali tas dari pundaknya.
“Oke, sini.” Aku mengambil tas itu darinya dan
meletakkannya di kursi kosong sebelah kananku. Lalu mukanya menghilang dari
hadapanku, dan aku hanya menatap punggungnya saja, bidang.
Aku mengenalnya, hanya mengenalnya. Namanya Faris. Anak Fakultas Teknik Pertambangan, jurusan perminyakan, seangkatan denganku. Katanya dulu pernah
jadi ketua senat di jurusannya. Tapi itu bukan urusanku. Dia hanya asik diajak
berbicara, itu cukup bagiku. Lagipula
aku tidak peduli dengan makhluk yang berlawan jenis denganku itu.
Aku hanya pernah bertemu dengannya satu kali, itupun tidak berkata
sepatah katapun dengannya. Hanya mengenal wajah dan suaranya saja dari hasil
mendengar ia berbicara dengan temanku. Perawakannya tinggi dengan berat badan
yang menurutku sangat cukup profesional. Tadi ia memakai topi, entahlah mengapa
ia sangat senang menutupi kepalanya. Mungkinkah karena rambutnya yang ikal?
Temanku sudah membalas pesan singkatku lagi di jejaring sosial bernama
line, aku bergegeas mengetikan balasannya. Karena pembicaraan ini sangat
penting bagi kami. Oh tidak, mengapa tadi aku membayangkan dirinya ya? Ah sudahlah.
“Kamu terlihat sangat serius deh.”
Aku tersentak dan mengalihkan pandangan dari perangkat elektronikku itu.
“Kamu mengagetkanku saja!” ujarku sambil membelakkan bola mata padanya.
“Sudah selesai solatnya?” tanyaku kembali.
“Sudahlaah.”
“Oh, oke.” Aku kembali menatap layar iPad-ku.
Kalau aku tidak salah lihat, sepertinya tadi ia memegang sebatang coklat.
Aku mengambil tas punggungku dan hendak berdiri dari kursi yang telah lebih
dari 10 menit kududuki itu. Lalu sebuah tangan yang menggenggam sebatang coklat
terjulur di antara layar iPad dan
mataku.
“Buat kamu.”
Aku terdiam sejenak. Melihat ke arahnya, lalu menatap matanya. Alis
kananku sedikit berkerut. Ia pun bereaksi dengan mengulang apa yang telah ia
lakukan sebelumnya.
Karena waktu yang terus mengejarku, aku mengambil coklat itu dari
tangannya. Lalu aku bangkit dari kursiku dan tersenyum padanya. Kemudian aku
berjalan meninggalkannya. Kakiku terhenti setelah menapak sebanyak tiga
langkah. Kutatap coklat itu sekilas. Silver queen dark chocolate. Sial, ini kan coklat kesukaanku. Aku membalikkan
setengah badanku, menatap bola matanya yang ternyata sedari tadi masih memandangi
punggungku. Kuangkat tangan yang memegang coklat itu lalu kelambaikan tanganku.
Kupasang senyum (yang menurutku paling manis) di bibirku. “Terima kasih.” “Aku
pulang lebih dulu, ya.” Dan aku pun meninggalkannya.
Senyum masih mengembang di bibirku sampai aku keluar dari ruangan itu.
Awalnya aku memang tidak peduli
siapa kamu, sampai kamu memberikanku sebatang coklat...
Jatinangor, 14 Maret 2015
With love, White Rose ♥
Comments