Dear, Dilan


Kamu benar, Dilan. Rindu itu berat, Milea tak akan pernah kuat. Namun kamu harus paham, Dilan. Puasa dapat menahan laju rasa rindu. Namun aku belum dapat menjalankannya agar dapat meredam rindu. Aku masih selalu merindu.

Dari sekian banyak film romantis yang pernah kutonton, aku menyimpulkan satu hal; cinta itu kejam, Dilan. Aku bisa saja jatuh cinta padanya saat ini, mengatakan padanya dengan tegas bahwa sesungguhnya aku benar-benar mencintainya. Aku bisa saja memberitahunya setiap detik bahwa aku menyanyanginya. Namun aku paham, it's useless. Aku, dan juga dia tak akan pernah mengetahui jika suatu saat kami bertemu kembali, apakah sebagai dua insan yang ditakdirkan bersama atau seperti dirimu dan Milea yang pada akhirnya memiliki jalan masing-masing. Aku paham, Dilan. Cinta itu sebuah kata kerja dan aku benci melakukan sebuah pekerjaan. Namun aku tidak membenci rasa cinta, Dilan.

Dilan, kuberi tahu satu hal saja padamu. Aku berusaha diam. Menahan segenap perasaanku padanya karena aku tak ingin kecewa. Mencintai seseorang bukan hanya tentang perasaan, tapi untuk mewujudkan segenap keinginan bersama di masa depan yang masih kelabu.

Dilan, kamu pernah menyadari kesalahanmu terhadap Milea? Kamu hanya dapat menduga bahwa Milea memiliki kekasih baru, begitu juga dengan Milea. Kamu tidak pernah memberikan klarifikasi pada Milea bahwa belum ada seorang perempuan yang dapat menggantikan posisi Milea dari hatimu. Begitupula dengan Milea. Berasumsi hanya menyakiti hati, Dilan. Berusaha menebak dan kecewa sendiri. Padahal tebakan tidak selamanya menghasilkan jawaban benar.

Dear, Dilan. Tolong sampaikan kepadanya, dengan bahasa puitismu itu. Aku tidak pernah berusaha menunggu siapapun. Datang saja jika ia ingin datang. Kapanpun. Dengan satu catatan; ia sudah siap untuk memulai.


Bandung, 24 Februari 2018
-White Rose-

Comments

Popular posts from this blog

Aku ingin Tinggal di Istana

Hiduplah karena Ingin Hidup

Sepatu Favorit