Coffee
“Caramel latte panas satu, karamelnya gak
usah banyak-banyak, ya!” kataku pada penjaga kasir di kedai kopi langgananku
siang itu. “Lo
mau apa?” tanyaku sembari menengok pada seseorang di sebelahku.
“Cappuccino satu ya, Mas!” jawabnya sambil mengeluarkan dompet dari saku celana belakangnya. “Gue aja yang bayar.” ujarnya sambil mengeluarkan uang seratus ribuan.
Aku tersenyum simpul padanya, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk mencari tempat. Voila! Got it!
“Di sana aja yuk, tempatnya nyaman, bisa lihat air mancur, ada colokannya juga.” kataku sambil menunjuk dua buah kursi berhadapan dengan meja bulat di depan pintu kaca yang membatasi ruang ac dan smoking. Di balik pintu kaca terdapat air mancur dengan kolam ikan berisi koi dengan perpaduan warna oranye dan putih.
“Oke.”
Aku mendekatkan diri kepadanya, “Terima kasih traktirannya, gue duduk duluan, yah.”
Ia mengangguk pelan. Aku berjalan menuju kursi tersebut, meletakkan tas punggungku di meja, lalu mengangkat kursi dengan perlahan. Aku duduk membelakangi pintu keluar. Aku memangku tasku, kemudian mengeluarkan laptop, dan membukanya.
“Lo suka kopi?” kata orang itu membuka percakapan sambil menarik kursi di hadapanku.
“He eh.” aku mengangguk sambil menyalakan laptop putihku tanpa melihat wajahnya.
Ia meletakkan tas punggung hitamnya di lantai, membuka resleting tasnya, dan mengeluarkan laptop juga, kemudian berkata, “Awas nanti maagnya kambuh.” Lalu ia tersenyum simpul, manis.
“Sebelum minum kopi, gue memastikan bahwa gue sudah makan nasi terlebih dahulu.” ujarku sambil membalas senyumannya. Mata kami bertemu satu persekian detik, setelah itu aku kembali menatap layar laptopku.
Ia pun mengangguk pelan. “Dari kapan?” tanyanya lagi.
“Hmm, pas SD sih kayaknya, dulu Ibu pernah membuatkan coffee cream untuk Ayah, gue cobain, eh enak. Abis itu gue suka minta tolong buatkan juga deh.” jawabku panjang lebar.
“Satu caramel latte panas, karamelnya sedikit, dan satu cappuccino es. Atas nama Cinta.” Pramuniaga itu meletakkan cangkir caramel latte-ku di atas meja persis di sebelah kiri laptopku.
“Terima kasih, Mas.” ujarku sambil tersenyum kepadanya.
“Sama-sama, Mbak. Selamat menikmati.” kemudian pramuniaga itupun berlalu.
Aku menolehkan wajah kepada manusia di hadapanku, “Kok Cinta?”
“Kan lo kalo order suka pake nama itu. Mending lo ganti nama jadi Cinta, gih!” Kami tertawa bersamaan.
“Enggak mau ah, nanti nama gue dimainin orang-orang.” jawabku asal.
“Nah, makanya jangan mainin nama Cinta juga.”
“Baiklah.” untuk kali ini, aku berusaha mengalah, padahal ia yang memulainya.
Aku mengambil cangkir dengan kedua tanganku. Panas. Kuhirup aromanya.
“Gue tuh suka kopi, apalagi latte. Ada pahitnya, ada manisnya. Caramel latte, campuran sirup karamel, espresso dan susu. Sirup karamel diletakan paling bawah, abis itu ditimpa espresso, baru di atasnya diletakkan susu. Manis, pahit, manis. Banyakan manisnya, makanya gue minta karamelnya sedikit aja, karena hidup itu lebih banyak pahitnya.” aku menjelaskan sambil menatap air mancur di sebrang pintu kaca.
“Kalau lo, kenapa lo suka minum kopi?” aku menatap matanya yang sedang fokus melihat layar laptop, tangan kanannya sibuk memainkan mouse hitamnya.
“Hmm…” jawabnya sambil mengetik tanpa melirik sedikitpun padaku. “Gue suka cappuccino, soalnya manis…..Kaya lo.”
“Hah? Apa? Apa? Soalnya apa? Gak kedengeran tadii.” ulangku pura-pura tidak mendengar kalimat terakhirnya.
“Haha. Lupakan.” Ia masih konsentrasi pada laptopnya.
Aku meletakkan cangkir di atas meja. Kututup laptopnya. Aku tatap matanya. Masih tak dihiraukan. “Apa? Ulangi ih, gue gak denger!” kataku sedikit memaksa.
Pekerjaannya terhenti sejenak. Ia pun menarik napas, lalu menghelanya, lalu balas menatap mataku. “Cappuccino itu manis…..”
“Terus?”
“Yaa, kayak lo gitu.” katanya sambil menaikkan sebelah alisnya.
Aku rasa hari ini sang barista memberikan sirup karamel di latte-ku terlalu banyak. Caramel latte-ku terlalu manis. Atau memang sikap kamu yang terlalu manis?
Bandung, 16 Januari 2019
-White Rose-
“Cappuccino satu ya, Mas!” jawabnya sambil mengeluarkan dompet dari saku celana belakangnya. “Gue aja yang bayar.” ujarnya sambil mengeluarkan uang seratus ribuan.
Aku tersenyum simpul padanya, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk mencari tempat. Voila! Got it!
“Di sana aja yuk, tempatnya nyaman, bisa lihat air mancur, ada colokannya juga.” kataku sambil menunjuk dua buah kursi berhadapan dengan meja bulat di depan pintu kaca yang membatasi ruang ac dan smoking. Di balik pintu kaca terdapat air mancur dengan kolam ikan berisi koi dengan perpaduan warna oranye dan putih.
“Oke.”
Aku mendekatkan diri kepadanya, “Terima kasih traktirannya, gue duduk duluan, yah.”
Ia mengangguk pelan. Aku berjalan menuju kursi tersebut, meletakkan tas punggungku di meja, lalu mengangkat kursi dengan perlahan. Aku duduk membelakangi pintu keluar. Aku memangku tasku, kemudian mengeluarkan laptop, dan membukanya.
“Lo suka kopi?” kata orang itu membuka percakapan sambil menarik kursi di hadapanku.
“He eh.” aku mengangguk sambil menyalakan laptop putihku tanpa melihat wajahnya.
Ia meletakkan tas punggung hitamnya di lantai, membuka resleting tasnya, dan mengeluarkan laptop juga, kemudian berkata, “Awas nanti maagnya kambuh.” Lalu ia tersenyum simpul, manis.
“Sebelum minum kopi, gue memastikan bahwa gue sudah makan nasi terlebih dahulu.” ujarku sambil membalas senyumannya. Mata kami bertemu satu persekian detik, setelah itu aku kembali menatap layar laptopku.
Ia pun mengangguk pelan. “Dari kapan?” tanyanya lagi.
“Hmm, pas SD sih kayaknya, dulu Ibu pernah membuatkan coffee cream untuk Ayah, gue cobain, eh enak. Abis itu gue suka minta tolong buatkan juga deh.” jawabku panjang lebar.
“Satu caramel latte panas, karamelnya sedikit, dan satu cappuccino es. Atas nama Cinta.” Pramuniaga itu meletakkan cangkir caramel latte-ku di atas meja persis di sebelah kiri laptopku.
“Terima kasih, Mas.” ujarku sambil tersenyum kepadanya.
“Sama-sama, Mbak. Selamat menikmati.” kemudian pramuniaga itupun berlalu.
Aku menolehkan wajah kepada manusia di hadapanku, “Kok Cinta?”
“Kan lo kalo order suka pake nama itu. Mending lo ganti nama jadi Cinta, gih!” Kami tertawa bersamaan.
“Enggak mau ah, nanti nama gue dimainin orang-orang.” jawabku asal.
“Nah, makanya jangan mainin nama Cinta juga.”
“Baiklah.” untuk kali ini, aku berusaha mengalah, padahal ia yang memulainya.
Aku mengambil cangkir dengan kedua tanganku. Panas. Kuhirup aromanya.
“Gue tuh suka kopi, apalagi latte. Ada pahitnya, ada manisnya. Caramel latte, campuran sirup karamel, espresso dan susu. Sirup karamel diletakan paling bawah, abis itu ditimpa espresso, baru di atasnya diletakkan susu. Manis, pahit, manis. Banyakan manisnya, makanya gue minta karamelnya sedikit aja, karena hidup itu lebih banyak pahitnya.” aku menjelaskan sambil menatap air mancur di sebrang pintu kaca.
“Kalau lo, kenapa lo suka minum kopi?” aku menatap matanya yang sedang fokus melihat layar laptop, tangan kanannya sibuk memainkan mouse hitamnya.
“Hmm…” jawabnya sambil mengetik tanpa melirik sedikitpun padaku. “Gue suka cappuccino, soalnya manis…..Kaya lo.”
“Hah? Apa? Apa? Soalnya apa? Gak kedengeran tadii.” ulangku pura-pura tidak mendengar kalimat terakhirnya.
“Haha. Lupakan.” Ia masih konsentrasi pada laptopnya.
Aku meletakkan cangkir di atas meja. Kututup laptopnya. Aku tatap matanya. Masih tak dihiraukan. “Apa? Ulangi ih, gue gak denger!” kataku sedikit memaksa.
Pekerjaannya terhenti sejenak. Ia pun menarik napas, lalu menghelanya, lalu balas menatap mataku. “Cappuccino itu manis…..”
“Terus?”
“Yaa, kayak lo gitu.” katanya sambil menaikkan sebelah alisnya.
Aku rasa hari ini sang barista memberikan sirup karamel di latte-ku terlalu banyak. Caramel latte-ku terlalu manis. Atau memang sikap kamu yang terlalu manis?
Bandung, 16 Januari 2019
-White Rose-
Comments