Tujuan Akhir

Di luar, langit sudah mulai menghitam. Rintik hujan yang turun perlahan mulai meningkatkan laju kecepatannya. Di dalam sini kami aman, tanpa gangguan hujan yang mengusik para pejalan kaki tanpa payung.

Tempat makan ini cukup nyaman untuk berbincang mengenai hal yang cukup rahasia. Walau tidak ada sekat dengan bangku sebelah, tapi hal itu bukan menjadi penghalangku untuk bercengkrama denganmu. Rasanya sudah lama aku tidak duduk berhadapan denganmu seperti ini, terakhir kali dua bulan yang lalu, seingatku. Itu juga bukan berhadapan, namun bersebelahan, aku menjadi tidak leluasa menatap matamu. Matamu masih sama, bulat hitam dengan tahi lalat di sudut kanan mata kananmu. Kumismu masih sama, tipis namun tegas, mungkin melambangkan ketegasan dirimu, namun tetap fleksibel jika berhadapan denganku. Ah, aku jadi tersanjung! Terakhir kali kulihat rambutmu di potong, terkesan rapi. Hey, potong lagi dong, agar kamu terlihat lebih rapi. Gigimu! Hahaha, maafkan aku yang selalu memperhatikan gigi manusia. Gigi taring kirimu yang sedikit lebih naik dibanding seluruh gigi rahang atasmu. Ah, ya! Aku selalu mengingat gaya bersenyummu, menaikkan sudut kiri bibirmu, terkesan menyindir, namun penuh kehangatan.

“Jadi, siapa yang mau terlebih dahulu?” katamu membuka percakapan.

 “Kamu duluan.” ujarku.

 “Baiklah, aku yang bertanya terlebih dahulu.” katamu sambil tertawa. Haha skak mat.

“Ada apa?” tanyamu.

“Kenapa?” kataku balik bertanya.”

“Karena aku peduli padamu.” jawabmu sambil tersenyum.

Aku terdiam. Ah, sial.

“Kalau aku tidak peduli padamu, lantas apa?” tanyaku kembali.

“Ya, tidak masalah, yang penting aku peduli padamu.” katamu sambil menaikan alis, gaya khas berbicaramu. “Tapi aku ingin kamu mencoba untuk peduli.”

“Aku peduli kok, mungkin tidak terlihat sepertimu, karena peduliku padamu di hadapan Tuhan.” jawabku tegas.

“Jalan kita masih panjang, mungkin di tengah jalan, bisa saja kamu atau aku menemukan rumah yang lebih nyaman untuk berteduh. Mungkin saja Tuhan membalikkan hatimu, atau hatiku, menjadi seseorang yang tidak peduli lagi satu sama lain.” lanjutku.

Hening pun tercipta di antara kami.

“Jadi, jika dalam perjalanan untuk menggenapkan separuh agama, kamu atau aku menemukan rumah terbaik, apa yang akan kamu lakukan?” tanyamu setelah terdiam beberapa saat.

“Kalau kamu mencari yang terbaik, pasti tidak akan pernah merasa cukup. Entah itu kurang cantik, kurang baik, kurang kaya, atau segala kekurangan lainnya. Tetapi aku membebaskanmu untuk terus mencari sampai kau menemukan tempat yang nyaman bagimu. Karena aku pun akan melakukan hal seperti itu.” aku menggigit bibir bawahku, terasa sedikit perih. Mungkin aku menggigitnya terlalu kencang.

“Lalu, di saat kamu atau aku saling menemukan, apakah kita harus saling memberitahu?” tanyamu seakan kamu sudah menemukan orang tersebut.

“Jadi, saat ini kamu sudah menemukan?” tanyaku insecure.

“Haha. Belumlah. Posesif nih ceritanya?” tanyamu sembari menggodaku.

“Mengapa harus posesif dengan teman sendiri?” jawabku sambil menjulurkan lidah. “Oh, ya, jika kamu sudah menemukan rumah, kamu harus memberitahuku! Begitu pula denganku. Aku janji tak akan pernah berhenti memberimu kabar.”

“Seandainya kamu menjawab tidak, mungkin akan lebih baik bagiku.” katamu sembari menatap mataku. Lama. Aku pun tersenyum simpul.

“Kan katamu jangan memutus komunikasi...................”

“Haha. Betul, dan kita harus belajar ikhlas juga. Ikhlas merelakan sesuatu yang bukan menjadi hak kita.”

Haha ikhlas. Hahaha. Aku tersenyum, namun hatiku meringis.

“Hujan sudah reda. Yuk, pulang. Nanti kakimu sakit lagi loh.” ajakku. Lalu kamu menghabiskan minumanmu dan aku pergi membayar ke kasir.

Air masih menetes dari langit, membasahi kemejamu. Aku menolak untuk pulang, namun kamu bersikeras untuk tetap pulang karena jarum pendek sudah menunjukkan angka sembilan. Baiklah, ego masing-masing harus disingkirkan, bukan?


---------------------------------------------------------------------------------------------------



Jatinangor, 19 November 2015
-White Rose-

Comments

Popular posts from this blog

Hiduplah karena Ingin Hidup

Sepatu Favorit

Ini tentang Iman kepada Allah