Surat Ketika Hujan
rainyjournal.blogspot.com |
Sore itu hujan turun secara perlahan. Namun permukaan tanah tetap basah terkena imbas cipratannya. Jauh di sebuah desa yang sudah hampir mengalami perkembangan baik secara ekenomi maupun teknologinya, hidup seorang perempuan. Umurnya baru saja memasuki seperlima abad. Sejatinya, ia seperti remaja putri lainnya. Menjadi seorang mahasiswi yang tidak hanya belajar, tapi juga berorganisasi. Sore itu berbeda, ia tidak sedang berada di area kampusnya. Sudah lebih dari satu jam ia duduk di meja belajarnya, memandangi album foto bersampul biru. Ternyata hujan juga sedang turun dari sudut matanya. Isak tangisnya tertutupi bunyi guntur yang menggelegar di luar kamarnya. Tiba-tiba ia membuka laptop usangnya dan mulai menekan tuts keyboard.
Hallo yah, sudah lama
kita tidak bercakap-cakap berdua, bahkan untuk saling bertatap muka pun tidak
pernah kita lakukan lagi. Tahun ini memasuki tahun keempat kepergianmu. Masih
teringat jelas dalam pikiranku saat-saat terakhir percakapanku dengan ayah.
Masih juga tertanam di otakku bagaimana malaikat Izrail mencabut nyawa ayah.
Sakit sekali ya, yah?
Bahkan penyakit kanker
yang menggerogoti paru-paru ayah itu tidak sebanding sakitnya ketika sakaratul
maut tiba. Yah, kalau kakak dapat memilih, kakak tidak ingin melihat kematian
ayah secara langsung. Hal itu lebih menyakitkan daripada hanya sekedar mendapat
berita duka dari rumah sakit atas kematianmu. Melihat ayah yang terus meenerus menyebut
Asma Allah di saat terakhir walau dengan ucapan yang tidak jelas. Maaf yah, kakak
lupa. Sungguh, kakak sangat lupa membimbing ayah membacakan syahadat kala itu.
Bodohnya kakak hanya menangisimu dan membacakan Yasin. Yah, semoga gumaman ayah
saat itu adalah ucapan syahadat, bukti ketaatanmu pada-Nya dan Rasul-Nya. Kakak
percaya hidup ayah berakhir dalam khusnul khatimah. Semoga kami semua yang
masih hidup di dunia ini dapat mengakhiri hidup dengan khusnul khatimah juga.
Yah, bagaimana rasanya
tinggal di dalam liang lahat? Apa yang telah ayah jawab ketika Munkar Nakir menanyaimu
di dalam sana? Ya Allah, semoga ayahku menjawab apa yang sebagaimana seorang
Muslim harus menjawab. Yah, apakah malaikat di dalam sana menyiksa ayah ketika
kakak shalat di waktu udzur? Maafkan kakak masih belum dapat menjadi seorang
anak shalehah seperti yang ayah harapkan. Kak Nisa masih belajar untuk terus
memperbaiki diri agar malaikat tidak menghukum ayah di dalam sana. Maafkan Kak
Nisa yang masih belum dapat menjadi contoh bagi Naufal dan Nayla.
Perempuan
itu mengambil selembar tissue, menyeka
air mata yang tumpah tak terkendali. Ia melanjutkan ketikannya.
Yah, selepas dirimu
pergi, pundak Kak Nisa terasa sangat berat. Sekarang prestasi sekolah tidak ayah
butuhkan secara nyata, yang ayah butuhkan saat ini adalah doa dari Kak Nisa
agar malaikat tidak menyiksa ayah di kubur sana. Yah maafkan jika doa Kak Nisa
untuk ayah dalam shalat masih sering terputus, shalat malamku kurang panjang,
dhuhaku juga masih bolong-bolong. Ya Allah, anak macam apa aku ini membiarkan
ayahnya menanggung beban di alam kubur. Proses ini masih panjang, yah. Kak Nisa
percaya ayah terus mendukung kakak dari sana agar kakak dapat istiqomah
menjalani proses ini. Prosesnya berat ya, yah?
Yah, masih tertanam di
benakku, ketika dalam kurun waktu seminggu terakhir menjelang kepergian ayah, ayah
mengatakan hal ini kepada kami,
“Kak
Nisa, Mas Naufal, dan Dek Nayla, ayah tidak dapat memberikan segudang harta
untuk kalian, ayah hanya dapat mewariskan ilmu.”
Hampir setiap hari ayah
mengatakan hal tersebut kepada kami, yah. Dahulu kata-katamu hanya menjadi
angin lalu di telingaku, namun sekarang, perkataan tersebut telah menjadi candu
bagiku.
Ilmu.
Terlalu banyak ilmu
yang telah ayah berikan untukku. Untuk kami. Ya Allah terima kasih, kalau bukan
karena takdirmu, aku tidak dapat menikmati hidup di keluarga kecil ini. Terima
kasih telah memilih ayah sebagai ayahku.
Yah, sungguh kakak
teramat rindu kepadamu. Kakak rindu ketika ayah memercikkan air di mukaku dari
sebuah gayung di waktu subuh. Ayah tahu tidak? Saat itu waktu masih menunjukkan
pukul 05.00, namun ayah sudah menyetel murotal dengan volume yang cukup besar. Kak
Nisa kan masih ingin memejamkan mata, yah. Kakak masih mengantuk. Padahal saat
itu mungkin kakak tidur pukul 21.00 dan ayah tidur lebih larut dariku.
Percikkan air tidak mempan membangunkanku, kakak justru menutup muka dengan
menggunakan bantal, lalu ayah menarik bantal itu dan menarik kedua tanganku.
Namun apa yang aku lakukan selanjutnya? Menarik tanganku kembali dan pindah ke
sisi tempat tidur yang lain. Yah, apakah sebegitu lelahnya mempunyai anak
sepertiku? Yang sangat susah untuk dibangunkan ketika subuh tiba. Yah, saat ini
semua itu sudah menjadi kenangan masa kecilku saja. Siapa lagi yang mau
membangunkan seperti itu ketika subuh tiba? Bunda? Ah, bunda sudah terlalu
lelah mencari nafkah dan mengurus rumah. Justru saat inilah Kak Nisa yang
seharusnya menggantikan peranmu. Membangunkan kedua adikku ketika mereka belum
shalat subuh.
Ayah Kak Nisa punya cerita, ketika Kak Nisa membangunkan Mas Nofal
kejadiannya hampir sama seperti ketika dahulu ayah sering membangunkan Kak Nisa
untuk shalat subuh. Tapi bedanya tingkat kesabaranku dan kreativitas kakak
kurang dari ayah, sehingga emosi muncul dari hatiku dan meninggalkannya karena
tidak sanggup. Dari situ kakak baru menyadari, berapa banyak stok sabar yang
ayah miliki untuk membangunkanku. Seberapa banyak ide yang telah ayah ciptakan
setiap harinya untuk sekedar membangunkanku.
Jari
perempuan itu terhenti dari pekerjaan menekan tombol keyboard di laptopnya. Ia melepas kacamata yang sedari tadi
membantu matanya untuk melihat lebih baik. Kacamatanya penuh dengan uap karena
terlalu banyak air mata yang tumpah. Ia mengusap wajahnya, berusaha menahan
laju air mata yang keluar dari tulang lakrimalisnya. Tetapi apalah dayanya,
semakin ia mencoba untuk berhenti menangis, semakin teriris pula hatinya. Tangisnya
pun mereka dan ia kembali melanjutkan kegiatannya.
Ayah, kalau saat ini
Mas Nofal berdiri di sebelah ayah, mungkin tinggi kalian berdua sama besar.
Terakhir kali kakak menanyakannya pada ayah, ayah berkata bahwa tinggi badanmu
180 cm, bukan? Kemarin Mas Nofal berkata bahwa tinggi badannya sekitar 185 cm.
Mungkin jika saat ini kalian berdua berdiri bersebelahan akan terlihat seperti
raksasa yang tinggal di rumah mungil. Ayah lihatlah, kini tinggiku disusul oleh
Mas Nofal. Mas Nofal yang dulu masih sebahuku kini sudah tumbuh melesat jauh
melebihiku. Ayah belum melihat kami, kan? Ayah tahu tidak, sekarang Mas Nofal
sudah memakai seragam putih abu-abu, oh iya, ayah dulu belum melihat Mas Nofal
memakai seragam putih biru juga, kan? Ayah, coba lihat wajah Mas Nofal saat
ini, di wajahnya sudah tidak dapat lagi menampung jerawat yang berkembang biak
dan bekas luka ditubuhnya juga semakin banyak. Ayah, katanya Mas Nofal ingin
menjadi seorang hakim, tapi juga ingin menjadi diplomat, ayah belum
mengetahuinya, kan?
Ayah, Dek Nayla
sekarang sudah berumur 7 tahun, sudah bersekolah di sekolah dasar islam di
dekat rumah kita. Iya, rumah kita di Depok sana. Ayah, lihatlah sekarang Dek
Nayla sudah tumbuh menjadi anak perempuan yang cantik dan pintar. Dek Nayla
kadang suka memakai jilbab jika bepergian, walaupun terkadang masih sering
dilepas jika ia merasa gerah. Ayah tahu tidak? Sekarang hafalan surat pendek
Dek Nayla sudah sampai Adh-Dhuha, walau kadang ada yang lupa ketika Kak Nisa
ajak muroja’ah. Ayah, setiap kakak melihat Dek Nayla, kakak seperti melihat
diri ayah di dalamnya. Dagunya yang terletak sedikit lebih lancip. Hidungnya
yang mancung seperti ayah. Dek Nayla itu seperti pengganti ayah untuk bunda.
Dek Nayla-lah yang menemani hari-hari bunda ketika Kak Nisa masih berada di
perantauan dan Mas Nofal berkutat dengan kesibukannya.
Ayah, tahukah ayah jika
kakak sering merasa iri ketika melihat remaja seusia Kak Nisa berfoto bersama
ayah mereka? Aku kan juga ingin berfoto bersama ayahku dan menempelkannya di
dinding kamar kosanku. Bahkan, melihat balita yang bermain dan bercanda bersama
orang tuanya pun aku merasa iri. Kak Nisa salah atau tidak, yah? Ayah, Kak Nisa
selalu berharap ketika pulang ke rumah ada ayah yang menyambutku, ada ayah yang
menjemputku, ada ayah yang mencium pipiku dengan kumis ayah yang khas, seperti
dahulu. Kakak juga selalu berharap ada ayah, bunda, Mas Nofal, Dek Nayla yang
datang ke Jatinangor untuk menjengukku. Yah, foto keluarga di rumah kita masih
berempat, belum ada Dek Nayla di sana. Perlukah aku mengeditnya dengan
Photoshop agar menjadi keluarga yang lengkap? Ayah, ayah belum melihat Kak Nisa
berdiri di pelaminan suatu saat nanti, bukan ayah juga yang mengucapkan ijab
ketika berlangsungnya akad nikahku. Ayah juga tidak akan pernah bertemu dengan
calon jodohku kelak yang akan bertandang ke rumah kita untuk meminangku. Ayah
belum melihat Kak Nisa memakai jas dokter, kan yah? Ayah bahkan juga belum
sempat melihatku memakai toga dan baju wisuda.
Di
luar sana hujan turun semakin deras, begitupula dengan tangis perempuan itu. Beruntung,
tak ada orang lain di sana. Jadi ia tak perlu repot-repot menyiapkan sejuta
alasan jika ada yang bertanya tentang tangisnya itu.
Ayah, masih banyak yang
belum ayah ketahui dari Kak Nisa, Mas Nofal, dan Dek Nayla. Mengapa ayah pergi
terlalu dini dari sisi kami? Kami masih membutuhkanmu. Yah, jika saja Kak Nisa
dapat mempersempit jarak Cirebon – Depok, mungkin Kak Nisa akan sesering
mungkin menemui makam ayah dan bercengkrama di sana. Biar saja orang mengatakan
aku gila, yang penting aku dapat mencurahkan isi hatiku. Ayah, kapan kita dapat
bertemu kembali? Kak Nisa rindu yah, teramat sangat merindukan ayah. Dapatkah
kita bertemu kembali walau hanya melalui perantara sebuah mimpi?
Ayah, mungkin ini
pertanyaan terakhir yang akan Kak Nisa sampaikan di surat ini. Ayah tahu tidak
berapa ribu tetes air mata Kak Nisa yang mengalir ketika Kak Nisa mengetik
surat ini?
Jatinangor,
13 Mei 2015
Anak
sulungmu yang sedang merindukanmu
Masih
banyak yang ingin ia sampaikan di surat itu. Masih ada sesuatu yang terpendam
di hatinya untuk diutarakan. Namun, adzan maghrib memanggilnya untuk menunaikan
perintah Tuhannya. Lalu ia melanjutkan bercerita mengenai asa hatinya kepada
Tuhannya, lewat sujud panjang di maghrib itu.
Perempuan
itu ada. Perempuan itu mungkin kenalanmu, mungkin temanmu, mungkin pula sahabatmu.
Perempuan itu terus berusaha menyembunyikan kesedihannya di hadapan khayalak. Perempuan
itu berusaha untuk kuat, karena ia percaya Tuhan selalu ada untuknya.
Jika
kamu bertemu dengannya, tolong sampaikan salamku untuknya. Tetaplah menjadi perempuan tegar yang ceria. Tuhan akan selalu bersamanya.
-White Rose-
Comments