Ada Hikmah Dibalik Sebuah Penolakan




Malam ini bintang tak menampakkan rupanya, langit pekat mencoba menyembunyikan bulan yang terlalu malu untuk muncul ke permukaan. Aku duduk di teras rumahku sambil memandang langit, dan menikmati hembusan angin malam, bersamamu.


“Coba kamu sedikit lebih fokus terhadap tugasmu yang ini, Sar.” ucapnya sembari menyenderkan pundak di tembok rumahku.


“Susah banget, Fi. Saat ini departemen aku sedang membutuhkan seseorang yang dapat menggantikan posisi sang kadep yang kemarin sempat menghilang tanpa jejak. Ada beberapa orang mengharapkanku, sedangkan aku sendiri tidak dapat membagi tubuh dan pikiranku menjadi dua. Aku bingung.” keluhku.


“Jangan bingung atuh, kan kamu bakal calon kepala departemen tahun depan.” ucapnya menyemangatiku. Ia kemudian tertawa, memperlihatkan dua gigi taring yang berada di tempat yang tidak seharusnya. Ketawanya pelan, ketawa khas dirinya. Sampai detik ini pun aku masih membayangkan cara tertawanya.


“HAHAHAHAHA.” tawaku meledak. Caraku tertawa berbanding terbalik dengan caranya tertawa. Tawaku bukan tawa seorang wanita Jawa yang anggun nan ramah. Inilah aku. Seorang perempuan setengah lelaki, mungkin.


“Bagaimana mungkin aku dipilih menjadi kepala departemen, sedangkan dalam skala fakultas saja aku tidak dipercaya mengemban amanah itu. Selain itu, ada banyak manusia lain yang lebih baik dan lebih keren daripada diriku ini. Aku mah apa atuh, hanya butiran nasi.” ujarku kembali.


“Tuh kan, pikiran negatif kamu mulai keluar lagi.” dia menatapku sambil tersenyum. Ah tidak, senyuman khas dirinya.


“Bukan berpikir negatif, tetapi berpikir realistis. Itu kata-katamu dulu, bukan?” aku berkata sembari menaikan alisku, tanda bahwa aku bertanya pada dirinya.


“Haha, quoted by Sarah.” ujarnya sambil mengalihkan pandangannya. Ia menatap lurus ke depan, seakan hidup yang ia hadapi penuh dengan semangat yang membara.


“Eh, coba kamu pikirkan kembali dari kata-katamu tadi, bagian mana yang menggambarkan unsur realistis dari alasan tersebut?” tanyanya.Bagaimana mungkin aku dipilih menjadi kepala departemen, sedangkan dalam skala fakultas saja aku tidak dipercaya mengemban amanah itu. Selain itu, ada banyak manusia lain yang lebih baik dan lebih keren daripada diriku ini. Aku mah apa atuh, hanya butiran nasi.” Ia pun mengulang ucapanku dengan kalimat yang sama seperti yang telah aku ucapkan.


“Itu realistis, Fi. Nyatanya, ditingkat fakultas, aku yang pernah menjadi tim sukses sahabatku, tapi aku tidak terpilih menjadi seorang kepala departemen, walaupun memang aku sendiri yang berkata sudah bosan berada dilingkup fakultas. Dan, kamu tahu kan, ini tingkatan yang lebih tinggi, Fi, tingkat universitas, siapa yang mau mempercayai diriku ini? Siapa yang mau memilihku? Siapa yang mengetahui kinerjaku? Masih ada Faris yang sekarang menjabat menjadi menteri koordinator di fakultasnya, lebih memiliki track record yang lebih banyak daripada diriku. Lalu siapa aku? Bukan pejabat fakultas, bukan pula petinggi fakultas. Butiran nasi, Fi. Hanya butiran nasi. Hahaha.”


“Oh, iya, satu lagi, semakin tinggi jabatan, semakin berat amanah di pundakku. Aku tidak mau di akhirat nanti aku harus berjalan dengan merangkak hanya karena amanah yang tidak kukerjakan dengan baik.” kata-kataku tadi mengakhiri statementku. Lalu aku menghela nafas panjang. Di samping itu, aku suka menjadi rakyat jelata, ucapku dalam hati.



Aku berdiri, berjalan masuk ke dalam rumah, mengambil dua botol gelas di atas rak piring, mengisinya penuh dengan air mineral dingin, lalu membawanya keluar. Kuberikan gelas ditangan kananku kepada lelaki itu. Lelaki yang baru kukenal tiga bulan yang lalu.



“Sebenarnya penolakan-penolakan itu pada akhirnya memberikan hikmah tersendiri, Sar.” Ia membuka percakapan lagi setelah meminum sepertiga dari isi gelas itu. “Contohnya, jika dahulu fakultas menerimaku sebagai salah satu staffnya, pasti sekarang aku tidak akan menjadi bagian dari Pers Mahasiswa ini, lalu skill desain aku pun tak akan bertambah. Aku mungkin hanya dapat membuat poster saja, bukan membuat layout majalah seperti sekarang ini.”



Aku terdiam sesaat. Mataku menatap luas ke kebun depan rumahku, melihat bunga mawar putih yang bergerak pelan karena hembusan angin. Udara malam di Bandung ini begitu dingin, namun aku merasakan kehangatan ketika duduk di sampingnya. Aku masih memikirkan kata-katanya tadi.

Sebenarnya penolakan-penolakan itu pada akhirnya memberikan hikmah tersendiri, Sar.


 Ya, mungkin jika aku sekarang tetap menjadi petinggi fakultas, aku tidak akan pernah meraih mimpiku sebagai seorang jurnalis.

Mungkin jika aku menjadi bagian dari fakultasku, aku tidak akan pernah mendapat amanah yang menantang seperti saat ini.

Mungkin jika aku tetap berada di fakultasku, fakultasku mungkin tidak akan pernah mempunyai kegiatan yang bekerja sama dengan almamaternya.

Mungkin jika aku masih berada di fakultasku, aku mungkin tidak akan pernah mewawancaraimu, aku mungkin tidak akan pernah memilihmu menjadi salah seorang partner di amanah yang aku pegang saat ini.

Dan mungkin saja, jika sahabatku memilih aku untuk bergabung di kabinetnya, atau kamu bergabung dengan kabinet di fakultasmu, saat ini dan detik ini mungkin tidak akan pernah bertemu denganmu, mungkin aku tidak akan pernah duduk dan bercerita sedekat ini denganmu.


Aku tersenyum memandang gugusan bintang di langit. Ada banyak bintang bertebaran di langit, namun hanya satu bintang yang memancarkan cahaya paling terang. Bintang yang paling terang itu tidak bersinar sendirian di langit sana, ada bulan yang menemaninya di kala bintang yang lain meredupkan sinar mereka.


Rencana Tuhan memang indah. Sebuah penolakan juga indah, jika kita dapat mengambil hikmah yang tersembunyi di baliknya.


Aku menatap wajahnya, kulihat ia masih memegang gelas di tangannya dan memandang lekat-lekat ke dalam isi gelasnya. Entahlah, aku tidak mengetahui apa yang sedang ia pikirkan saat ini. Tiba-tiba tanpa kusadari, senyumku mengembang dengan sendirinya.

Hei, terima kasih telah menemaniku di saat seribu bintang lainnya memudarkan cahayanya. Terima kasih telah memberi semangat di titik terendahku. Terima kasih sudah mau menjadi sahabatku. Tunggu dulu, apa yang kukatakan tadi? Sahabat? Hei, sahabatku. Bolehkah aku berharap lebih darimu?






Jatinangor, 15 Juni 2015
-White Rose-

Comments

Popular posts from this blog

Hiduplah karena Ingin Hidup

Sepatu Favorit

Ini tentang Iman kepada Allah