Posts

Showing posts from December, 2015

Bunda

                Bun, you are the big reason i wanna meet when i went to home. Kadang kalo udah di rumah rasanya gamau balik ke Nangor, pengennya bantuin Bunda di rumah buat nyetrika pakaian yg belum disetrika seminggu, ato bantuin nyuapin Dechan, ato bantuin ngerjain kerjaan sekolah Bunda yang seabrek banyaknya.                Bun, you are my inspirator and im a proud daughter of you! Gils, nyokap gue ngajar dari senin sampe jumat jam 7 pagi sampe 3 sore. Setiap hari Bunda tidur jam 12 dan bangun jam 3 pagi. Tahajjud, solat subuh, nyiapin sarapan. Senin sampe Jumat berangkat dari Depok jam 5 sampe rumah jam 4/5 sore. Abis Isya biasanya Bunda nyuci sambil ngaso istirahat. Setelah itu baru mulai belajar tentang materi yang akan di sampaikan di depan kelas besok harinya. Iya, nyokap gue selalu belajar tiap malem karena nyokap gue adalah seorang guru SMP di salah satu dae...

Public Relation

Pertama kali dalam sejarah kepanitian yang gue ikuti, semenjak SMA sampe tingkat empat perkuliahan, gue menduduki kursi divisi humas, hubungan mas-mas masyarakat. Menjabat sebagai koordinator divisi pula. Hahahahahaha. Cuma bisa ketawa doang ketika pengalaman ini berakhir. Mari kita flashback menuju waktu gue pertama kali mendapat tawaran yang menurut gue cukup menggiurkan ini. Sekitar bulan September pertengahan, temen KKN gue menawarkan gue untuk menjadi kepala divisi humas di salah satu prokernya di BEM Kema Unpad. Gue gak melihat siapa yang mengajak gue, tapi gue melihat “kesempatan” untuk belajar yang terbentang luas di hadapan gue. Pertama, divisi yang ditawarkan, yaitu divisi humas. Gue sama sekali belum pernah punya pengalaman di divisi humas, ini bisa menjadi media pembelajaran buat gue ke depannya. Siapa tau suatu saat gue masuk divisi humas, disitu gue punya sedikit ilmu untuk diaplikasiin. Kedua, acara ini bukan acara yang pernah gue ikutin. Bukan acara pen...

Cerpen: Perempuan

Siang itu, di sebuah ruang tamu rumah kecil, dua orang perempuan yang sedang beranjak dewasa tengah berbincang. Masa depan selalu menjadi kekhawatiran mereka. "Lalu, sekarang apa maumu? Berpacaran?" ujar perempuan pertama, ia tengah memoles wajahnya agar terhindar dari sengatan matahari siang. "Tidak akan." perempuan kedua mengatakannya sambil terus menekan keyboard laptopnya. "Lalu apa yang harus kutanyakan padanya?" perempuan pertama itu menatap teman satu rumahnya dengan tatapan bingung. Perempuan kedua menghentikan pekerjaannya sesaat, menatap kawannya dengan tatapan penuh makna. "Ia bilang, ia mau menungguku. Apakah ucapannya benar-benar serius?"  "Ya, akan kutanyakan." "Terima kasih." Tak lama kemudian, perempuan pertama membuka pintu rumah dan meninggalkan perempuan kedua seorang diri. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam. Hati-hati di perjalanan, yaa!" Perempuan kedua ...

Cerpen: Minyak dan Rumah

Beberapa bulan yang lalu, kupikir masalah sudah selesai begitu aku meminta maaf. Namun kenyataannya tidak, ternyata ada ruang di dalam hati yang berlubang besar. Aku baru memahaminya ketika aku berada di posisi yang sama dengan perempuan itu.             Kamu memang hanya menjatuhkan minyak beberapa tetes dan pilihannya ada padaku, melewati jalan yang terdapat tetesan minyak itu atau tidak. Setelah berpikir lama, pilihanku adalah melewati jalan yang terdapat tetesan minyak itu, terlalu beresiko tinggi untuk terjatuh jika aku tidak berhati-hati ketika berjalan. Awalnya aku berhasil berjalan dengan mulus karena yang kuinjak hanya percikan minyak. Namun setiap hari kamu terus menerus meneteskan minyak itu di depan jalanku dan aku tertantang untuk selalu memilih jalanan berminyak itu. Intuisiku mengatakan aku tidak akan pernah terjatuh karena kewaspadaanku cukup tinggi. Tetapi bakatku itu salah, sampailah pada suatu saat dimana ak...

Cerpen: Belajar dari Tuhan

Beberapa hari kemarin, seseorang yang memiki jenis kelamin berbeda denganku telah memperjuangkanku dengan segenap kemampuannya, katanya. Aku percaya, karena aku telah membuktikannya dengan mata kepalaku sendiri. Namun hati kecilku mengatakan, ini bukan waktu yang tepat. Detik itu juga aku benar-benar mempertanyakan keseriusannya di hadapan Tuhan. Hujan mengaburkan suara isak tangisku di dalam sebuah mushola sore itu. Tuhan bantu aku dalam menentukan sikap. Tapi jawaban Tuhan saat itu adalah diam. Ia tidak memberikan jawaban apapun. Tiada satupun petunjuk. Aku frustasi sepersekian detik, menghabiskan persediaan air mata lebih banyak lagi. Tiba-tiba aku mendengar seperti seseorang memanggilku, aku memalingkan wajah ke segala penjuru, tapi tak menemukan siapapun. Aku terdiam, ternyata suara hati memanggil jiwaku. Hei, apa yang yang harus kulakukan? Kau hanya perlu mendengarkanku bicara, katanya. Aku menarik nafas perlahan, berusaha memahami kalimatnya. Aku me...