Cerpen: Belajar dari Tuhan



Beberapa hari kemarin, seseorang yang memiki jenis kelamin berbeda denganku telah memperjuangkanku dengan segenap kemampuannya, katanya. Aku percaya, karena aku telah membuktikannya dengan mata kepalaku sendiri. Namun hati kecilku mengatakan, ini bukan waktu yang tepat. Detik itu juga aku benar-benar mempertanyakan keseriusannya di hadapan Tuhan. Hujan mengaburkan suara isak tangisku di dalam sebuah mushola sore itu.

Tuhan bantu aku dalam menentukan sikap.

Tapi jawaban Tuhan saat itu adalah diam. Ia tidak memberikan jawaban apapun. Tiada satupun petunjuk. Aku frustasi sepersekian detik, menghabiskan persediaan air mata lebih banyak lagi.

Tiba-tiba aku mendengar seperti seseorang memanggilku, aku memalingkan wajah ke segala penjuru, tapi tak menemukan siapapun. Aku terdiam, ternyata suara hati memanggil jiwaku.

Hei, apa yang yang harus kulakukan?

Kau hanya perlu mendengarkanku bicara, katanya.

Aku menarik nafas perlahan, berusaha memahami kalimatnya. Aku menunggunya kembali berbicara. Namun ia tak kunjung mengatakan satu katapun Lagi-lagi aku tidak menemukan jawaban apapun. Mushola tetap hening. Begitu pula suara hatiku.

Hei, kamu kemana? Katamu aku harus mendengarkanmu berbicara, tapi sampai detik ini kau tidak menyampaikan apapun.

Aku bertambah kecewa, bahuku mulai naik turun mengikuti ritme tangisku.

Tuhan tolong beri aku jawaban. Aku harus menentukan pilihan.

Mushola tetap hening.

Tuhan tolong aku.

Tuhan tolong.

Tuhan tolonglah aku. Aku cukup tersiksa dengan perasaan ini.

Aku berubah haluan, Tuhan mungkin lelah mendengar permohonanku. Tuhan mungkin menyuruhku untuk bertanya pada diriku sendiri. Aku bergegas bertanya pada hati kecilku.

Dear hati, apa yang harus kulakukan?

10 detik berlalu tanpa jawaban.

Mempertahankan benteng ini, atau membuka sedikit gerbang untuk membiarkannya mengintip sedikit?

5 detik berlalu dengan kehampaan.

Apakah ini saatnya aku membuka gerbang?

3 detik berlalu tanpa suara apapun.

Manakah yang harus kupilih?

2 detik berlalu lagi-lagi dengan keheningan.

Hei suara hati! Kamu kemana sih?


Aku mulai geram. Berbagai pertanyaan dalam benakku sudah kutumpahkan, namun tetap tak ada jawaban. Aku kembali menangis. Air mata yang keluar sama besarnya dengan pertanyaanku yang tak terjawab. Semakin banyak pertanyaan yang kuajukan, semakin bertambah pula air mata yang menetes. Begitu juga sebaliknya.

Langit mulai lelah mengeluarkan air matanya, begitu pula denganku. Jingga di ufuk barat mulai terlihat di atas gedung tingkat empat ini. Tiba-tiba terdengar suara pelan, pelan sekali, aku tidak mungkin mendengarnya jika aku masih terisak.

Lakukan apa yang baik menurutmu.

Ternyata itu suara hatiku! Akhirnya ia bersuara! Tapi tetap saja tidak menyelesaikan permasalahanku. Tidak juga menjawab semua pertanyaanku.

Tunggu dulu! Jadi aku harus apa?

5 menit aku menunggu jawaban dari hati kecilku. Kali ini dia benar-benar menghilang. Detik terus berputar, sementara aku harus menentukan pilihan, egokah atau iman. Seharusnya aku sudah mengetahui jawaban pastinya, namun keraguan datang tanpa diundang, mengacaukan semua rencana yang sudah kususun dengan sebaik-baiknya perencanaan.

Selamat buat ego, yang telah memenangkan pertarungan ini untuk yang pertama kalinya! Setelah sekian lama dimenangkan oleh iman, kali ini ego berhasil mengalahkannya. Mungkin saat itu iman sangat kecewa terhadapku, tapi aku berusaha untuk mengacuhkannya. Ya, aku memilih untuk jatuh cinta. Benar-benar jatuh cinta yang seutuhnya.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku mendapat jawaban dari Tuhan beberapa hari setelah kemenangan sang ego. Ternyata pilihanku salah. Seharusnya saat ini aku masih mempertahankan benteng keimananku, dan belum saatnya untuk membuka gerbang, walau se-inchi-pun.

Aku mendapat satu hal berharga. Jika Tuhan menjawab pertanyaanku saat itu juga, mungkin sampai detik ini aku tidak akan pernah belajar. Jatuh cinta, mencintai, kemudian mengikhlaskan. Aku juga belajar tentang kekecewaan pada diri sendiri. Ketika iman berhasil dikalahkan oleh ego. Terakhir, aku belajar untuk lebih tegas terhadap diri sendiri, tegas bahwa dalam situasi sesulit apapun, iman harus dimenangkan dari ego.


Depok, 29 November 2015
-White Rose-

Comments

Popular posts from this blog

Aku ingin Tinggal di Istana

Hiduplah karena Ingin Hidup

Sepatu Favorit