Cerpen: Minyak dan Rumah
Beberapa
bulan yang lalu, kupikir masalah sudah selesai begitu aku meminta maaf. Namun
kenyataannya tidak, ternyata ada ruang di dalam hati yang berlubang besar. Aku
baru memahaminya ketika aku berada di posisi yang sama dengan perempuan itu.
Kamu memang hanya menjatuhkan minyak
beberapa tetes dan pilihannya ada padaku, melewati jalan yang terdapat tetesan
minyak itu atau tidak. Setelah berpikir lama, pilihanku adalah melewati jalan
yang terdapat tetesan minyak itu, terlalu beresiko tinggi untuk terjatuh jika
aku tidak berhati-hati ketika berjalan. Awalnya aku berhasil berjalan dengan
mulus karena yang kuinjak hanya percikan minyak. Namun setiap hari kamu terus
menerus meneteskan minyak itu di depan jalanku dan aku tertantang untuk selalu
memilih jalanan berminyak itu. Intuisiku mengatakan aku tidak akan pernah
terjatuh karena kewaspadaanku cukup tinggi. Tetapi bakatku itu salah, sampailah
pada suatu saat dimana aku terjerembab karena hasil perbuatanmu. Hahahahahaha
ingin rasanya mengetawai diri sendiri di hadapan cermin. Ternyata begini
rasanya terpeleset karena genangan minyak, sedikit menyakitkan, ya? Untungnya,
Tuhan berhasil menarik jiwaku dari alam bawah sadar. Ia memerintahkanku untuk
berdiri kembali, membersihkan sisa minyak yang mengotori jalan, kemudian
meneruskan perjalanan lagi. “Masih terlalu dini untuk berhenti.” ujar-Nya.
Akupun bergegas melanjutkan
perjalanan kembali, toh jalanannya sudah bersih dari minyak, kan? Tetapi, kamu
selalu berjalan selangkah lebih maju, menumpahkan tetesan minyak lainnya di
jalanan yang membentang di hadapanku. Kali ini aku akan selalu meningkatkan
kewaspadaanku agar tidak lagi terjatuh karena sebab yang sama.
Kamu, iya, kamu. Hati-hati ya dalam
menempuh perjalanan menuju tujuan akhirmu. Perjalanan yang memakan waktu cukup
lama dan menghadirkan berbagai pertanyaan yang membuat kamu sendiri sendiri
bingung untuk menjawabnya. Awas! Hati-hati juga dalam menafsirkan rambu lalu
lintas. Persepsimu mungkin akan berbeda dengan persepsi Sang Pembuat rambu.
Selama dalam perjalananmu ke depan,
mungkin kamu akan menemukan berbagai pintu rumah yang memungkinkan untuk
dimasuki. Kamu bebas hendak memasuki rumah manapun, mencoba mengetuk berbagai
pintu yang tersedia, atau mencoba memasuki istana sekalipun, bebas. Itu hakmu.
Aku? Haha memangnya kamu pernah benar-benar peduli terhadapku? Tapi tenang
saja, aku akan selalu berada di balik pintu yang sama. Aku memang sedang dalam
perjalanan, tapi kalau ingin menemuiku, aku berada di rumah yang sama, tempat
yang sama. Datang saja ke rumahku, pintu rumahku selalu terbuka bagimu. Namun,
untuk kali ini aku tidak mengizinkan kamu, atau siapapun memasuki rumahku. Jika
kamu, atau siapapun, hendak mengobrol denganku, bisa di teras rumah. Mohon
maaf, karena aku sedang membersihkan rumah, ada beberapa ruangan yang perlu
diperbaiki. Renovasinya mungkin akan memakan waktu yang cukup lama, seperti
lamanya perjalanan kamu dalam mencari rumah terbaik. Kelak, jika waktunya tiba,
ketika rumahku sudah dalam kondisi terbaiknya, aku akan membukakan pintu seluas
mungkin agar orang lain dapat menjelajah ruangan rumahku lebih dalam lagi. Setidaknya
sampai saat ini kamu adalah orang yang paling beruntung, sebagai satu-satunya
orang yang pernah memasuki ruang tamuku.
Ketika kamu memasuki rumahku, berbagai
pertanyaan muncul di salah satu ruangan rumahku yang bernama benak. Ada satu hal
yang belum sempat kutanyakan, kapan kamu menjadi lelaki yang tegas? Bukan hanya
terhadap diri sendiri, tapi juga terhadap orang lain. Cobalah sapa sedikit hati
kecilmu, bisikkan secara perlahan, sudah berapa orang yang kamu kecewakan
selama 21 tahun perjalanan hidupmu?
Oh, ya, tolong dong tutup kilang
minyakmu, takut tumpah lagi di jalanan. Kamu beruntung, kali ini akulah yang
menjadi korbanmu, hanya terpeleset pula. Bagaimana kalau ada orang lain yang
terpeleset, dimana orang itu tak sengaja membawa api. Apakah kamu mau
bertanggung jawab terhadap perbuatanmu (lagi)? Hahaha. Aku mengetahui pasti
jawabanmu, kamu pasti akan berkata ‘tidak’ dan saat itu kamu akan menyalahkan
orang tersebut dengan alasan tidak berhati-hati ketika berjalan. Sampai kapan
mau menyalahkan orang lain, padahal kamu sendiri tidak menjaga kilang minyakmu?
Hei, aku pamit untuk melanjutkan
pengembaraanku, mengarungi hidup. Langkahmu sudah jauh di depan, kamu terlalu
sibuk mencari celah pintu, sedangkan aku terlambat mengejarmu, aku sibuk
mencari bahan bangunan yang terbaik untuk memperbaiki rumahku. Oh, mungkin kamu
sudah membuka pintu baru lagi, mungkin. Jika di masa depan kamu keluar dari
tempatmu singgah dan menemukanku sedang berjalan, sapa aku ya.
Maaf telah lama membukakan pintu,
aku tidak ingin memasukkan orang yang salah ke dalam rumahku. Maaf pula tidak
bisa menyediakan makanan, atau minuman yang kusuguhkan tidak membuatmu
mengurangi rasa hausmu, alasanku sederhana, aku tidak ingin meracunimu.
Sekali
lagi, aku pamit, untuk saat ini, karena jika aku lanjutkan hanya akan
menyakiti. Tidak peduli dimana tempat
kita memulai perjalanan, yang penting dimana tempat kita akan berakhir. Itu
katamu, kan? Terima kasih, sudah mengajarkanku arti ikhlas yang sesungguhnya.
Ikhlas melepaskan yang bukan menjadi hak kita.
Jatinangor,
27 November 2015
-nisrinaqotrun-
Comments