Cerpen: Kahfi
“Kamu tahu tidak, apa
hal yang paling aku syukuri di tahun 2015 ini?” ucapku
sore itu sembari menuruni tangga masjid kampusku.
“Hmm.. Hal yang paling aku syukuri? Apa ya? Memasuki
tahun terakhir di dunia kampus, mungkin? Sebentar lagi skripsi, lalu lulus.” Ia
menghentikan langkahnya, sembari menatap
mataku.
“Ya, itu salah satunya,
tetapi kurang spesifik.” tanyaku lagi. Kali ini aku
mengalihkan pandanganku menuju danau yang terhampar luas di hadapanku.
“Aku menyerah sajalah.
Aku paling bodoh ketika bermain tebak-tebakan.” ucapnya
sambil melambaikan tangan. Aku menoleh padanya, seketika aku tertawa kecil. Lucu
sekali ketika melihat wajah tak berdayanya. Ah, ingin rasanya aku berlama-lama
duduk di sampingnya. Ingin rasanya aku memperlambat waktu, bahkan menghentikan
waktu. Demi kebersamaan ini.
Tiba-tiba
sekelebat tangan membuyarkan lamunanku, “Hei,
kamu belum menjawab pertanyaanmu sendiri.” Astaga, ternyata sedetik yang
lalu pikiranku tidak berada di sini.
“Oh maaf, aku sendiri
sudah lupa apa yang telah aku ucapkan....” jawabku sambil
menyunggingkan senyum pemaksaan.
“Aku sudah menebaknya
kok,” ujarnya sambil tertawa kecil. Sial, dia bahkan
mengetahui kebiasaanku yang satu ini, mudah lupa. Entahlah, aku tidak mengerti
padahal umurku baru saja menjajaki kepala dua, tetapi kemampuan otakku untuk
mengingat layaknya seorang nenek yang berusia 60 tahun.
“Tadi kamu bertanya, apa
hal yang paling kamu syukuri di tahun 2015 ini.” lanjutnya
memberitahuku.
Aku bersyukur Tuhan
menunjukkan jalan-Nya sehingga aku dapat dipertemukan dengan dirimu. Ah
tidak! Untung saja pita suaraku tidak bergerak, untung saja aku masih
mengutarakannya dalam hati. Aku tersenyum sendiri seperti orang gila, mungkin
ini adalah hal terbodoh yang kulakukan di 2015.
Aku
memiringkan badanku sepertiga ke arah kanan, menatap matanya, dan berkata, “Aku bersyukur Tuhan telah membukakan mataku
dan meluaskan pandanganku. Aku bersyukur Tuhan sudah mengingatkanku bahwa aku
itu kecil dan Ia besar. Aku bersyukur telah menemukan rumahku di almamaterku
ini.” Aku menghela nafas ringan, dan melanjutkan ”Satu tahun lagi aku akan pergi dari dunia kampus ini, dan aku sangat
amat bersyukur bahwa aku tidak pergi dengan sia-sia. Semoga saja.” Kali ini
sudut bibirku terangkat sampai batas terujungnya, tanda bahwa senyumku terlalu
mengembang.
Aku
tak pernah menyadari kalau namanya merupakan salah satu dari 114 nama surat di
Al-Qur’an. Sampai ketika Jumat itu aku membuka kitab suciku dan membaca surat
yang hampir serupa dengan namanya, Kahfi. Aku tak pernah bertanya arti dari
namanya karena pasti artinya sangat indah. Oleh karena namanya itulah, aku
menjadi lebih mengingat Tuhan. Terima kasih Tuhan telah mempertemukannya
padaku.
Jatinangor, 12 Juni 2015
-White Rose-
Comments