Cerpen: Dialog Sore Bersama Ibu
“Pak
Harto tuh tujuannya baik, ia pura-pura menculik Bung Karno agar tidak ikut
menjadi korban G30S/PKI, apalagi dengan kondisi Bung Karno yang sedang
sakit-sakitan. Keluarga Bung Karno saja yang menganggap Beliau salah satu
dalangnya.” ujar Ibu sore itu sembari menonton berita sore yang menayangkan
reka adegan G30S/PKI.
“Pak
Harto tuh ahli strategi, Kak. Makanya Beliau mengetahui langkah-langkah apa
saja yang harus diambil agar tidak mencelakakan banyak orang.” lanjutnya.
“Makanya
ya, Bu, negara kita menjadi lebih baik saat dipimpin oleh seorang militer,
terutama TNI, karena mereka sudah digembleng selama 4 tahun untuk strategi
keamanan dan kestabilitasan negara.” ujarku menambahkan.
“Oooh,
jelas, Kak. Terutama TNI-AD. Pak Harto, SBY, mereka dari TNI-AD. Mereka orang
Kopassus, Kak. Kualitas strategi mereka sudah terbukti selama mereka menjadi
presiden RI. Atau lihat Gatot Nurmantyo, panglima TNI ini juga gak kalah
hebatnya dengan mereka. Makanya Ibu ingin sekali Kakak memiliki suami seorang
militan.” ujar Ibu mengalihkan pembicaraan.
Aku
yang sedang makan tersedak mendengar kalimat terakhir Ibu. Kuambil gelas di dekatku, dan menegak isinya sampai habis.
“Ibu
dulu pernah dijodohkan dengan seorang TNI, Letnan Dua, Kopassus pula. Tapi Ibu
pembangkang, Ibu lebih memilih Ayah daripada dia.” lanjut Ibu sambil terus
menatap layar kaca.
“Bu,
tapi Kakak kan dokter. Bagaimana jika Kakak kehilangan pelangganku?” jawabku
mencoba mencari alasan apapun untuk menghindari perjodohan ini.
Aku pernah
benci sebenci-bencinya dengan militan. Bukan karena aku pernah disakiti,
namun aku kecewa dengan keangkuhan mereka. Mungkin karena menurut sudut pandangku mereka terlihat begitu eksklusif,
sehingga mereka menganggap diri mereka superior? Entahlah.
“Kak,
cobalah untuk berpikir jangka panjang. Kan ada surat pindah tugas. Mana mungkin
rumah sakit tidak mau menerima istri seorang Perwira? Coba lihat contohnya
teman Ibu. Dia istri seorang perwira, dia selalu menemani kemana pun suaminya
pergi tugas. Benefit-nya banyaaak
banget." Ibu menceritakan detailnya kepadaku.
"Pertama,
suami Kakak pasti sehat jasmani. Seorang tentara, terutama pewira, akan
terjamin kesehatannya. Mereka tiap bulan di cek kesehatannya. Sebelum menikah
dengan seorang tentara pun, Kakak sebagai calonnya juga diperiksa
habis-habisan. Kedua, Kakak akan sering ikut pindah tugas suami Kakak. Itu
berarti kesempatan Kakak keliling Indonesia lebih mudah. Coba kalau misalkan
suami Kakak seseorang yang kerja di pertambangan, mungkin gak akan diajak
keliling Indonesia. Kakak bahkan ditinggal terus di rumah, sedangkan suami Kakak
di tengah lautan." Ibu menghela nafas, kemudian mengambil memintaku untuk mengisi gelasnya yang kosong.
Aku menyerahkan gelas yang berisi air putih kepada Ibu. Kemudian ia hanya mengosongkan separuh isinya.
"Ketiga,
Kakak akan mendapatkan banyak teman baru di setiap daerah yang akan Kakak
tempati, ya kan? Keempat, Kakak bisa melakukan pengabdian di tempat tugas suami
Kakak nantinya. Katanya Kakak mau jadi dokter yang bermanfaat bagi seluruh
negeri ini, kan? Inilah jalan Kakak. Berpikir untuk 10-20 tahun ke depan ya,
Kak. Jangan hanya mengikuti arus.” terang Ibu panjang lebar. Ibu menerangkan
dengan hati-hati dan penuh penekanan di beberapa katanya. Berusaha meyakinkanku
bahwa jodoh terbaik menurut versi Ibu adalah seorang perwira tentara.
Aku
terdiam selama beberapa menit, berusaha mencerna setiap perkataan Ibu. Aku
masih tidak bisa menerima setiap alasan yang ibu kemukakan. Namun semua alasan
Ibu terdengar logis di kepalaku. Otakku pun mulai menerima alasan-alasan logis
Ibu untuk mempunyai suami seorang tentara.
Dulu
aku selalu menolak, bahkan sebelum Ibu menawarkan, aku langsung menolak tanpa
mendengarkan alasan kenapa ibu bersikeras menginginkan aku mendapatkan suami
seorang tentara. Bagiku, seorang lelaki yang berkecimpung di dunia organisasi
penggerak kepemudaan lebih menarik perhatianku dibandingkan seorang taruna.
Namun sekarang semuanya terasa jelas. Seorang Ibu selalu menginginkan yang
terbaik untuk anaknya. Dan Ibu ingin anaknya mendapatkan lelaki terbaik selama
sisa hidupnya. Ibu ingin aku belajar dari kesalahannya.
Satu
hal lagi, aku mengetahui bahwa ibuku selalu menaruh harapan penuh padaku. Mulai
dari menjadikanku seorang dokter, yang merupakan cita-citanya yang tak tercapai
karena keterbatasan dana. Sekarang pun, ingin aku melanjutkan cita-citanya
untuk menikah dengan seorang tentara.
Saat
ini orang tuaku yang tersisa tinggal Ibu seorang. Cara terbaik untuk
membahagiakannya adalah dengan membantu mewujudkan keinginannya yang belum
tercapai. Aku selalu percaya, perkataan Ibu tidak pernah salah. Namun aku juga
tidak ingin mematahkan segala mimpiku. Aku memiliki jutaan mimpi, aku juga
tidak ingin mimpiku terjun bebas begitu saja. Aku ingin mimpiku dan mimpi Ibu
berjalan beriringan. Aku punya Allah, aku punya Tuhan tempatku berdialog. Aku
pun paham, Allah memiliki solusi terbaik untuk setiap permasalahan hamba-Nya.
Aku dan Ibu berusaha, selanjutnya tinggal Allah-lah yang bermain peran terhadap
usaha kami.
“Bu,
maafkan aku yang tidak pernah mendengarkan nasihatmu. Aku terlalu keras kepala
untuk membuka otak dan hatiku. Bu, tolong ridhoi aku di setiap langkahku." Aku
memeluknya, lalu menciumnya.
Sungguh, aku sayang sekali pada Ibu.
Depok,
24 September 2017
-White
Rose-
Comments