Robbish rohli sodri


     “Assalamualaikum. Bal, gue besok mau mengisi acara lagi di Semarang, tapi…….” ujar Icha terputus kepada lawan bicaranya melalui telepon genggamnya.

     “Waalaikumsalam. Tapi kenapa lagi, Cha?” laki-laki itu bertanya sembari memantau pekerjaan anak buahnya di sebuah perusahaan BUMN. “Lo sudah berangkat ke Semarang? Naik apa?”

     “Pesawat jam 7 malam ini. Besok acaranya mulai jam 8 pagi, gue takut sekali, Bal.” Icha berkata dengan nada lirih.

     “Ya ampun, Cha. Lo sudah 89 kali menjadi pembicara, kalau Allah berkehendak, besok akan genap menjadi 90. Di depan guru sering, di depan anak kecil apalagi, di depan presiden juga pernah, bahkan lo pernah bersanding dengan seorang Gubernur DKI Jakarta loh. Dan lo masih gugup juga?”

     Iqbal benar-benar tak habis pikir terhadap sahabatnya ini. Icha adalah seorang aktivis di bidang kerelawanan. Ia memiliki sebuah yayasan sosial bernama Yayasan Cahaya Insan, yang bertujuan untuk menciptakan hafidz serta hafidzah dari anak-anak yatim terlantar. Namanya familiar di telinga masyarakat Indonesia. Namun Icha tetaplah Icha. 89 kali menjadi pembicara, 89 kali juga Icha selalu menghubungi Iqbal untuk sekedar bercerita bahwa ia gugup. 89 kali juga Iqbal selalu menganjurkan Icha membaca doa yang dipanjatkan Nabi Musa ketika Allah memerintahkannya untuk kembali ke kerajaan Fir’aun setelah ia berhasil kabur dari sana.

     “Cha, baca robbish rohli sodri wayasirli amri wahlul uqdatamilisaani yafqahu qauli. Pahami artinya, Cha. Lo sudah hafal artinya juga kan, Cha? Lo kan seorang hafidzah, masa gak hafal surat Thaha ayat 25 sampai 28, sih?” lanjut Iqbal sambil terus berjalan menuju ruangan sebelah yang dipenuhi komputer itu, melanjutkan tugasnya memantau anak buahnya.

     “Iya, Bal. Ampun. Ampun.” jawab Icha sambil terkekeh. Hatinya sudah agak lebih tenang. Ia bangkit dari kursi tamu yayasan menuju pintu depan.

     “Sudah ya, gue malu diliatin anak buah gue kalo kerja sambil nelpon. Gak profesional, Cha.” kata Iqbal.

     “Baaaal, makasih ya. Lo emang teman cerita terbaik gue!” ujar Icha mulai ceria, oktaf suaranya sudah mulai meninggi.

     Iqbal berhenti berjalan, ia terdiam sesaat. Merenungi kalimat Icha. Ia berdoa dalam hati. Doa yang selalu ia sarankan pada Icha saat gugup. Robbish rohli sodri wayasirli amri wahlul uqdatamilisaani yafqahu qauli.

     “Bal?” panggil Icha di sebrang telepon.

     Bismillah. ujarnya dalam hati. “Cha, Senin depan gue ada meeting di Bandung nih, Selasa harus balik Manado lagi. Sabtu gue terbang ke Jakarta, sekalian mau pulang ke rumah. Lo weekend di Jakarta gak?” tanya Iqbal.

     “Hmm, Sabtu gue ada acara di yayasan sampai jam 3 sore, Bal. Minggu free.

     “Oke, Sabtu gue jemput lo di yayasan. Gue mau main ke rumah lo. Oh, iya, sekalian tolong kabarin bokap nyokap lo kalo gue mau ke rumah.”

     “Bal…………. Bukannya kalo lo mau main ke rumah, lo gak pernah minta kabarin ke bokap nyokap gue…..” kata Icha terbata-bata. Iqbal memang tegas, tapi Iqbal tidak pernah seserius ini ketika berbicara dengan Icha.

     Bismillah. Robbish rohli sodri wayasirli amri wahlul uqdatamilisaani yafqahu qauli.

     “Bal?” panggil Icha curiga.

     “Cha, hampir lima tahun loh gue sudah menjadi seorang teman cerita lo.
      "Gak pernah lebih, gak pernah kurang.
     "Jadi teman cerita gue buat selamanya, yuk?” tanya Iqbal dengan sangat hati-hati.

     Icha menyandarkan punggungnya di tembok depan yayasan. Kali ini giliran Icha yang terdiam mendengar pertanyaan Iqbal. Air matanya mengalir perlahan.


Dago Pojok, 4 September 2017
-White Rose-

Comments

Popular posts from this blog

Aku ingin Tinggal di Istana

Hiduplah karena Ingin Hidup

Sepatu Favorit