Belasan tahun aku tinggal di rumah ini. Tempat berlindung dari terik matahari dan hujan badai. Tempat aku beristirahat di panasnya siang dan dinginnya malam. Rumah ini memiliki dua lantai dengan cat dominan warna krim. Ada teras dan pagar yang membatasi dan mengamankan rumah. Dahulu teras tersebut berisi berbagai macam tanaman ibu, tapi sekarang sudah dibongkar untuk garasi mobil. Empat kamar tersedia di dalamnya. Kamar aku dan kedua adikku, serta kamar ibuku. Tidak terlalu luas, namun tidak terlalu sempit. Seharusnya, aku bersyukur memiliki rumah yang dapat ditinggali setiap hari. Kata mahfudzot Arab: Rumahku, istanaku. Baitii jannatii. Namun bagiku, rumah ini tidak seperti istana. Dapur yang sempit. Keran kamar mandi sering bocor. Air hangat sering tidak menyala. Air sering macet. Dinding mengelupas. Orang tua yang sering mengekang. Sungguh, terlalu banyak hal yang membuatku tidak nyaman tinggal di rumah orang tuaku. Aku ingin memiliki rumah sendiri. Aku ingin ...
Hidup di dunia itu sifatnya sementara. Hidup yang kekal, ya di akhirat. Lantas mengapa manusia seringnya berlomba-lomba untuk mencapai hal terbaik di dunia? Padahal, hidup di dunia tujuannya untuk mencari bekal dan tabungan di akhirat. Bukan untuk dinikmati sementara. Dunia itu fana, akhirat yang kekal. Adakalanya, manusia ingin melanjutkan hidup bukan karena keinginan dalam diri sendiri. Melainkan karena orang lain. Orang tua, kekasih, anak. Memikirkan orang lain. “Kalau tidak memikirkan anakku, aku pasti memilih mengakhiri hidup.” “Aku bertahan hidup karena ada orang tua yang harus aku jaga.” Padahal, hiduplah karena diri sendiri ingin bertahan hidup. Hiduplah karena ingin menikmati sisa usia. Hiduplah karena hidup adalah keinginanmu. Jalani hidup kita dengan baik, sebagai bentuk rasa syukur kita terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Menikmati hidup dapat dilakukan dengan banyak cara, salah satunya menghargai setiap keputusan yg dipilih, enjoy dalam menjalankan kehidupan, tidak menjalankan ...
Sudah dua tahun aku hidup bersama Nisa. Aku selalu mendampingi Nisa di luar rumah. Langkah demi langkah, kami lalui bersama. Saat matahari sedang terik-teriknya, aku menemani Nisa berjalan melewati jalanan beraspal di Ibukota. Kami berjuang bersama di tengah udara kotor hasil pembakaran mesin kendaraan bermotor. Menghirup oksigen yang sudah banyak terkontaminasi karbon dioksida dari ratusan kendaraan bermotor di Jakarta. Suatu ketika Nisa mengajakku ke daerah baru yang lebih sejuk. Kami menempuh perjalanan sekitar 3 jam dari Jakarta dengan menggunakan mobil yang dikendarai oleh Nisa. Hari itu hari Minggu. Kami berangkat sebelum matahari terbit, sesudah Nisa melaksanakan sholat Subuh. Selama perjalanan, matahari belum menampakkan batang hidungnya. Langit terus berwarna kelabu. Setetes dua tetes air turun dari langit menimpa kaca depan mobil. Nisa bergegas menyalakan penyeka kaca depan agar pandangannya tidak terhalang oleh air hujan. Hari itu hujan sangat deras. Nisa turun dari mobi...
Comments