Cerpen: Bumi Berhenti Berputar
Detik
itu, aku merasa bumi berhenti berputar. Bumi seakan menjauh dari matahari. Dentuman
musik salah satu band papan atas di negaraku seperti berhenti bergema. Suara vokalis
band tersebut terdengar samar-samar. Udara menjadi terasa sangat dingin. Kakikupun
sangat kaku. Aku membeku.
Detik itu, aku melihatmu kembali!
Bersama seorang wanita, yang merengkuhmu dengan penuh cinta.
Alunan musik berubah menjadi suara yang teramat bising. Hiruk pikuk manusia berubah menjadi tembok yang perlahan menyempit, seakan-akan mendekatkan jarak antara kita. Jarakpun dengan santainya mengejekku, “Hai manusia, lihatlah! Inilah akibat kamu bermain-main denganku! Aku telah membuat jarak antara kalian semakin membesar! Silakan kamu rasakan sendiri akibatnya!”
Dalam kebekuan, aku memandang punggungmu, sembari berusaha bernafas normal. Namun sekuat apapun aku berusaha, aku tetap tidak mampu mengeluarkan karbon dioksida dari hidungku. Seperti ada tumor yang menghalangi jalan nafasku, yang membuat hidungku tersumbat dan menghentikan aliran nafasku.
Dalam kebekuan, aku memastikan kembali apakah itu dirimu. Kutatap dirimu dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan pandangan mata kabur, akibat dari derasnya rintik air mata yang menhujani pipiku. Aku berusaha meyakinkan diri sendiri. ITU BUKAN KAMU! Setebal apapun kacamataku, apalagi dengan jarak sedekat itu, aku tidak mungkin salah melihat. Itu kamu! Iya kamu! Dengan seseorang yang mungkin aku kenal.
Hujan dari kelopak mataku turun sangat deras. Pandanganku semakin kabur. Lututku bergetar. Badanku terasa amat ringan. Aku berpegangan pada sahabatku untuk menjaga keseimbangan tubuhku. Kuarahkan pandanganku ke bawah. Lalu aku menghela nafas panjang. Kupejamkan mataku, samar-samar kudengar bait lagu yang menyindirku.
Kemudian kuberanikan diri untuk menatapmu sekali lagi. Tepat saat kutatap punggungmu, kau sedang melingkarkan lenganmu di bahunya.
Detik itu juga, aku merasa bumi benar-benar berhenti berputar.
Bandung, 18 Desember 2016
-White Rose-
Detik itu, aku melihatmu kembali!
Bersama seorang wanita, yang merengkuhmu dengan penuh cinta.
Alunan musik berubah menjadi suara yang teramat bising. Hiruk pikuk manusia berubah menjadi tembok yang perlahan menyempit, seakan-akan mendekatkan jarak antara kita. Jarakpun dengan santainya mengejekku, “Hai manusia, lihatlah! Inilah akibat kamu bermain-main denganku! Aku telah membuat jarak antara kalian semakin membesar! Silakan kamu rasakan sendiri akibatnya!”
Dalam kebekuan, aku memandang punggungmu, sembari berusaha bernafas normal. Namun sekuat apapun aku berusaha, aku tetap tidak mampu mengeluarkan karbon dioksida dari hidungku. Seperti ada tumor yang menghalangi jalan nafasku, yang membuat hidungku tersumbat dan menghentikan aliran nafasku.
Dalam kebekuan, aku memastikan kembali apakah itu dirimu. Kutatap dirimu dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan pandangan mata kabur, akibat dari derasnya rintik air mata yang menhujani pipiku. Aku berusaha meyakinkan diri sendiri. ITU BUKAN KAMU! Setebal apapun kacamataku, apalagi dengan jarak sedekat itu, aku tidak mungkin salah melihat. Itu kamu! Iya kamu! Dengan seseorang yang mungkin aku kenal.
Hujan dari kelopak mataku turun sangat deras. Pandanganku semakin kabur. Lututku bergetar. Badanku terasa amat ringan. Aku berpegangan pada sahabatku untuk menjaga keseimbangan tubuhku. Kuarahkan pandanganku ke bawah. Lalu aku menghela nafas panjang. Kupejamkan mataku, samar-samar kudengar bait lagu yang menyindirku.
Air mata ini
menyadarkanku
Kau tak kan pernah
menjadi milikku
Tak pernah ku mengerti,
aku segila ini
Aku hidup untukmu,
aku mati tanpamu
-Noah,
Hidup untukmu, Mati tanpamu-
Kemudian kuberanikan diri untuk menatapmu sekali lagi. Tepat saat kutatap punggungmu, kau sedang melingkarkan lenganmu di bahunya.
Detik itu juga, aku merasa bumi benar-benar berhenti berputar.
Bandung, 18 Desember 2016
-White Rose-
Comments
Keren nis..
Tapi nis..
Sedih nis..
:(
Keren nis..
Tapi nis..
Sedih nis..
:(