Hijrah

     Suatu sore di pelataran masjid kampus di daerah Semarang, dua orang perempuan berusia 20 tahunan sedang bercakap-cakap selepas solat ashar berjamaah.

     “Apa yang akan kamu lakukan dengan buku itu?” perempuan berjilbab cokelat muda bertanya sembari melipat mukena masjid.

     “Aku yang akan meminta tanda tangan dosen itu, supaya kami semua dapat pergi bersamaan. Oiya, nanti tolong antarkan aku ya untuk mengambil buku itu, sekalian kita beli takjil untuk berbuka saja.” perempuan satunya lagi menjawab sambil membenarkan letak jilbab biru mudanya. 

     Perempuan pertama terdiam sejenak, wajahnya memancarkan raut muka bingung. Hal ini tidak sempat tertangkap oleh perempuan kedua yang masih sibuk membenarkan hijabnya. 


     “Hmm, Rin.” kata perempuan pertama ragu-ragu menyapa sahabatnya.

     “Yaa?” perempuan yang bernama Rina menjawab sekenanya. Ia masih membenarkan letak kerudungnya.

     “Hmm, sebenarnya, tadi Andi mengajakku bertemu…” katanya takut-takut.

     “WOOOW!? Lalu bagaimana, Na?” Rina teriak penasaran.

     “Ya, aku iyakan saja.” jawab Ina pelan. “Ssttt, jangan keras-keras dong, Rin, nanti terdengar yang lain.”

     Rina terdiam, membiarkan sahabatnya bercerita.

     “Aku bingung, Rin. Di satu sisi aku ingin hijrah, namun tiba-tiba menghubungiku kembali, sedangkan aku jika disentuh sedikit saja pasti langsung mencair.
     “Dia pun mengetahui bahwa aku berhenti berkomunikasi dengannya alasannya adalah karena aku ingin hijrah menjadi pribadi yang sesuai dengan yang Allah hendaki.
     “Aku tahu, aku salah. Namun aku tidak dapat menolak untuk bertemu dengannya. Jujur aku rindu melihat wajahnya.”

     Rina tersenyum simpul melihat kegelisahan sahabatnya. Sedari tadi ia hendak menimpali, namun ia menahannya. Dengan sabar ia menunggu sahabatnya selesai bercerita.

     “Na, jika kamu bertemu dengan Andi, kamu merasa bersalah. Jika kamu sekarang membatalkan pertemuan dengan Andi….” kata-katanya terpotong.

     “JUGA BERSALAH!” keduanya serempak menjawab. Lantas mereka tertawa bersamaan.

     “Begini, Na, jika kamu tidak jadi bertemu dengan Andi, kamu bersalah kepada manusia, sedangkan jika kamu bertemu Andi, kamu bersalah pada Allah……” penjelasan Rina terhenti kembali.

     “STOP IT RINNN!” Ina menutup telinganya seolah tidak ingin menjelaskan penjelasan Rina lebih lanjut.

     “Yaa, ini realita, Na. Kamu tidak dapat memungkirinya. Aku sebagai sahabat hanya dapat memberitahumu mengenai kebaikanmu, kan katanya kamu sendiri yang ingin hijrah. Jalan kebaikan itu berat, Na. Lebih banyak halangannya. Lebih banyak godaannya. Salah satunya ya dengan bertemu Andi ini.” Jjeas Rina panjang lebar menceramahi sahabatnya, yang diceramahi terlihat enggan menanggapi. Maklum, orang jatuh cinta, pasti susah diberi tahu, pikir Rina.

      “Ya sudah, jadi nanti kamu tetap ingin bertemu dengan Andi?” tanya Rina memastikan kembali, siapa tahu sahabatnya itu telah berubah pikiran.

     Ina mengangguk yakin. “Iya, Rin. Mumpung dia sedang berada di Semarang, nanti kalau dia sudah kembali ke Jogja, kami tidak dapat bertemu kembali.

     “Oh, ya, aku juga membatasi diri kok, aku minta padanya agar pertemuan kami tidak lebih dari adzan isya.” lanjutnya.


     Rina hanya tersenyum kecil. Rina tahu, ketika sedang bersama dengan seseorang yang kita sayangi, pasti tidak ingin cepat mengakhiri kebersamaan dengannya. Setidaknya dulu Rina pernah berada di posisi yang sama dengan Ina. Bagi Rina, saat sedang jatuh cinta, memang sangat sulit untuk menghentikan perasaan yang sedang bersemi. Sulit sekali untuk tidak berkomunikasi dengan yang tersayang. Tidak mudah untuk menyudahi suatu pertemuan yang jarang terjadi. Rina mengetahui bahwa sebanyak apapun ia menasihati sahabatnya, sahabatnya sulit untuk mendengarkannya. Namanya orang jatuh cinta, seakan semua yang dilakukannya adalah benar. Rina hanya dapat berdoa, semoga Allah segera menyadarkan Ina sesegera mungkin. Rina pun juga menyangsikan, jika saat ini dirinya yang berada di posisi Ina, apakah ia akan menuruti saran dirinya sendiri.


     “Okey, aku sudah mengingatkanmu yaa. Nanti setelah isya, aku akan menelponmu agar segera pulang. Katanya ingin hijrah.” kata Rina.

     “Siap, bosss.” Ina meletakkan keempat jari tangannya di ujung dahi, seperti pose hormat kepada bendera merah putih.

     “Yuk, pulang, Na.” ajak Rina setengah berdiri.


    Kemudian mereka menuruni tangga masjid dan pulang menuju asrama. Rina cemas dengan keadaan temannya, sedangkan Ina cemas akan pertemuannya dengan Andi. Semoga hati keduanya selalu dipenuhi dengan iman, agar tidak berbelok menuju jalan yang salah. Amiin.


Bandung, 30 Mei 2017
-White Rose-

Comments

Popular posts from this blog

Aku ingin Tinggal di Istana

Hiduplah karena Ingin Hidup

Sepatu Favorit