Aku dan Jalan Setapak
2 tahun lalu, ketika kita melewati jalan ini, kamu menghentikan kendaraan itu, di tepi jalan. Kamu menawarkan diri untuk menemaniku, di saat semua manusia berada di bawah alam bawah sadarnya. Lalu kita menyusuri jalan setapak serta menembus malam gelap tanpa bintang, menghindari bebatuan dan membelah rerumputan. Suara kita bersahutan dalam frekuensi rendah, untuk memecah diam. Suara jangkrik turut membuyarkan sunyi.
Awalnya kita berjalan bersisian, namun kamu memelankan langkah, mempersilakan diriku untuk menapaki jalan terlebih dahulu. Katamu ingin menjagaku dari belakang. Dapat kuhitung, aku telah menoleh ke belakang sebanyak 30 kali selama perjalanan 10 meter itu, untuk memastikan kamu tetap menjagaku. Dan kamu memang ada di sana, menatapku dengan senyummu. Akupun tersenyum, di dalam hati.
Awalnya kita berjalan bersisian, namun kamu memelankan langkah, mempersilakan diriku untuk menapaki jalan terlebih dahulu. Katamu ingin menjagaku dari belakang. Dapat kuhitung, aku telah menoleh ke belakang sebanyak 30 kali selama perjalanan 10 meter itu, untuk memastikan kamu tetap menjagaku. Dan kamu memang ada di sana, menatapku dengan senyummu. Akupun tersenyum, di dalam hati.
1 tahun lalu, ketika aku melintasi jalan ini, aku menghentikan kendaraan itu, di tepi jalan yang sama seperti tahun sebelumnya. Aku berjalan seorang diri, tiada satu orang pun yang menawarkan diri untuk menemaniku, karena aku memang pergi dengan diri sendiri. Lalu aku menyusuri jalan setapak serta menembus malam gelap tanpa bintang, menghindari bebatuan dan membelah rerumputan. Aku bernyanyi, dalam frekuensi rendah, untuk memecah diam. Suara jangkrik turut membuyarkan sunyi.
Awalnya aku menapaki jalan sendiri, lalu kulirik sisi kanan kiriku, ternyata aku tetap berjalan seorang diri. Dapat kuhitung, aku telah menoleh ke belakang sebanyak 30 kali selama perjalanan 10 meter itu, untuk memastikan apakah kamu datang tiba-tiba untuk menjagaku. Dan kamu memang tidak ada di sana, tidak ada yang menatapku dengan senyuman. Akupun tersenyum pahit, di dalam hati. Sesak juga terasa di dada, air mata terus mengalir, tetapi aku terus melangkah maju, melupakan kenangan.
Awalnya aku menapaki jalan sendiri, lalu kulirik sisi kanan kiriku, ternyata aku tetap berjalan seorang diri. Dapat kuhitung, aku telah menoleh ke belakang sebanyak 30 kali selama perjalanan 10 meter itu, untuk memastikan apakah kamu datang tiba-tiba untuk menjagaku. Dan kamu memang tidak ada di sana, tidak ada yang menatapku dengan senyuman. Akupun tersenyum pahit, di dalam hati. Sesak juga terasa di dada, air mata terus mengalir, tetapi aku terus melangkah maju, melupakan kenangan.
Hari ini, ketika aku mengemudikan mobil melintasi jalan ini, aku menghentikan kendaraanku, di tepi jalan yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun aku hanya duduk terdiam, mengamati bebatuan yang menumpuk sehingga menghalangi jalan masuk dan memperhatikan rerumputan yang tumbuh, mengaburkan jalan setapak. Tidak akan ada lagi yang dapat melewatinya dengan kondisi seperti itu.
Kunyalakan mesin mobil, kutekan pedal gas perlahan, kupacu mobil dengan kecepatan rendah. Kali ini tidak ada senyum dari sudut bibirku, tiada sesak dan air mata. Mobil terus berjalan, begitu pula dengan hidupku. Aku terus melangkah maju, melupakan kenangan.
Kunyalakan mesin mobil, kutekan pedal gas perlahan, kupacu mobil dengan kecepatan rendah. Kali ini tidak ada senyum dari sudut bibirku, tiada sesak dan air mata. Mobil terus berjalan, begitu pula dengan hidupku. Aku terus melangkah maju, melupakan kenangan.
Depok, 25 Januari 2015
with love, White Rose♡
Comments