Menunggu

Hai perempuan, kalau suatu saat kamu diminta untuk menunggu, apa kamu mau menunggu?


     Suatu saat temanku bercerita, “Nis, ada orang yang memintaku untuk menunggu.” “Hmm, lalu apa jawabanmu?” jawabku. Jujur aku bosan dengan pertanyaan ini. Pertanyaan yang bahkan aku sendiri tidak tahu jawabannya. “Aku minta dia supaya tidak menunggu.” “Loh, memangnya kenapa?” jawabku antusias. Aku selalu penasaran dengan wanita-wanita super. Strong independent woman who need no man. Buat apa aku menunggu yang tidak pasti, kukira dia akan nikah dalam waktu dekat, ternyata masih dua tahun lagi.” Ia menjawab dengan senyum yg melengkung ke bawah dan alis yang mengkerut. Pasti dia sedang bimbang sekali, batinku. Susah untuk memutuskan hal seperti ini, ditolak takutnya melewatkan jodoh, diterima juga takut bukan jodoh.

     Huf. Hidup.





     Menunggu.

     Suatu saat, teman satu perguruan di bimbingan belajar sewaktu SMA (yang bahkan tidak pernah aku sangka kehadirannya) mengatakan padaku untuk menunggunya mengirim proposal rencana kehidupan. Kutanyakan padanya, memangnya kapan rencana kamu akan memberikannya padaku? Sepertinya dua sampai tiga tahun lagi, jawabnya. Dan ia memintamu untuk menunggunya selama itu. Atau ketika sahabatmu yang sudah berpenghasilan berkata, “Tunggu kamu lulus koas terlebih dahulu.” Atau mungkin ketika seseorang mengatakan padamu untuk menunggunya lulus dan merintis kehidupan terlebih dahulu.




     Huf. Menunggu.

     Hei lelaki, kamu pikir memangnya semudah itu untuk menunggu? Dua tahun, tiga tahun, empat tahun. Cukup lama loh. Jika diperjalananmu nanti kamu menemukan seseorang yang lebih baik dariku, apa kamu masih tetap mau menunggu? Dengan catatan tidak ada komitmen diantara kita berdua. Mungkinkah kamu akan pergi tanpa pamit? Atau kamu menggunakan cara halus, yaitu berpamitan terlebih dahulu (dan meninggalkan bekas luka) pada masing-masing dari kita?




     Aku bangga dengan teman-teman yang sudah berani menjalin komitmen tanpa pernikahan (baca: pacaran), mereka mampu melewati proses pengenalan dan saling menerima kekurangan diri apa adanya. Namun, aku lebih bangga terhadap teman-teman yang berani menjalin komitmen di atas pernikahan tanpa proses pengenalan terlebih dahulu, mungkin lebih familiar jika saya bilang dengan ta’aruf. Suatu saat temanku bertanya padaku, apakah aku ingin menjalani proses ta’aruf atau tidak. Honestly, aku ingiiiiin sekali ta’aruf. Inginnnn sekali memasrahkan hati ini pada Allah, untuk siapapun nanti pendampingku kelak. Tapi ketika Allah mengujiku dengan mendatangkan lelaki kepadaku, aku masih tak ragu untuk membuka hati. Lah, bagaimana toh, katanya ingin ta’aruf? Ingat, jodohmu kan cerminan diri, nduk.




     Inti dari semua tulisan ini, untuk semua lelaki di dunia ini. Jangan memintaku dan teman-teman yang sepamahaman denganku untuk menunggu. Kami (perempuan) tidak ingin menjadi penghalang jodohmu, dan kami tidak ingin kalian menjadi penghalang jodoh kami. Jadi tolong, tahan perasaan kalian sampai kalian siap membina rumah tangga, siap mental dan siap finansial. Kalian pasti sudah paham kalau menyatakan perasaan terbaik itu dengan mengkhitbah, bukan pacaran,. Dan dua insan yang menjalin komitmen terbaik itu bukan dengan pacaran, tapi dengan pernikahan.

Selamat merenung!


Bandung, 23 Februari 2017
-White Rose-

Comments

Popular posts from this blog

Aku ingin Tinggal di Istana

Hiduplah karena Ingin Hidup

Sepatu Favorit