Posts

Showing posts from 2014

Berhenti Sejenak

Image
Teriaklah, niscaya ombak 'kan melebur suaramu. Berbisiklah, lantas pasir 'kan mengaburkannya. Keluarlah penat, menjauhlah letih. Aku ingin rehat, menghindari ilmu Barang sejenak, 'tuk mengembangkan senyum. dibuat di Jatinangor, 26 Desember 2014 All photos taken by me. Canon EOS 600D. 15-135 mm. Auto.  7-8 Desember 2013. Pelabuhan Muara Angke - Jembatan Cinta, Pulau Tidung

Cerita tentang Fosikagi :)

Pada tahun 2012, saat pertama kali saya memasuki Fakultas Kedokteran Gigi Unpad, saya mengikuti sebuah organisasi yang bernama Forum Silahturahmi Mahasiswa Kedokteran Gigi. Seperti biasa, saya memilih departemen yang berbau Media dan Informasi. Padahal sejujurnya, saya baru bisa menggunakan Adobe Photoshop saat saya masuk di FKG, ketika saya duduk di sekolah menengah atas, saya hanya bisa membuka aplikasi photoshop saja, serta membuat layer baru hahaha. Lalu mengapa kau memilih jalan ini, Nis? Entahlah, mungkin ada rahasia yang hanya Allah-lah yang mengetahuinya. Saat saya menjabat menjadi staff departemen syiar media, teh Gracety Shabrina adalah seorang kepala departemennya. Dahulu ia belum seperti sekarang. Semakin ke sini, teteh yang akrab disapa Eci ini kian menunjukkan sisi keakhwatannya. Saya merasa malu, saya masih belum dapat sepenuhnya istiqomah dengan perubahan saya. Saya ingin sekali seperti dia.. Tetapi yang sangat disayangkan, saya kurang merasa terangkul olehnya,

Kalaupun Tidak

Sembari mengisi waktu luang, yang sebenarnya tidak kosong, aku membaca kumpulan sajak Tere Liye, yang disatukan dalam bentuk buku berjudul “Dikatakan atau Tidak Dikatakan, Itu Tetap Cinta” . Buku ini merupakan sebuah bingkisan, saat usia saya membuka gerbang kepala dua. Diberikan oleh seorang sahabat yang juga mencintai buku, kopi, fotografi, dan sepertinya semua kegemaran saya, kesukaannya juga. Terima kasih saya ucapkan untuk sahabat saya, Finka. :) Sajak-sajak yang telah dipindahkan dari otak dan hati Tere Liye ke dalam selembar kertas itu sangat mengguggah kalbuku, salah satu sajak yang saya suka berjudul, Sajak “Kalaupun Tidak”, yang isinya akan saya paparkan dalam cuplikan di bawah ini. SAJAK ”KALAUPUN TIDAK” Kalaupun dia tidak tahu kita menyukainya Kalaupun dia tidak tahu kita merindukannya Kalaupun dia tidak tahu kita menghabiskan waktu memikirkannya Maka itu tetap cinta. Tidak berkurang sesenti pun perasaan tersebut. Justru dengan ngotot ingin bila

Carilah Dokter Gigi

“Mahasiswa tuh jarang ada yang rajin ke dokter gigi. Jangankan mahasiswa teknik, mahasiswa kedokteran aja jarang. Makanya cari dokter gigi……” Kang Danfer, Founder Volunteer Doctor — [dikutip dari Annisa Tauziri's tumblr] Jadi, Kang Danfer itu adalah seorang dokter lulusan FK Unpad. Baru saja di sumpah dokter setahun yang lalu kalau tidak salah. Beliau beristrikan seorang dokter gigi lulusan UI. Kalau tidak salah, mereka berdua sekarang membuka praktik di daerah Sayang, di Jatinangor. Dan, kata-kata Beliau di atas membuat saya.......melting. Hah, seandainya semudah itu Kang menemukan pasangan hidup.  Mungkin saja di sana ada yang sedang mencari saya, tetapi saya terlalu sibuk mencari juga. Jadilah kami tidak saling menemukan. Mungkin saja arah kita salah, sehingga belum dipertemukan. Atau mungkin menurut Tuhan belum waktunya bagi kita untuk bertemu. Oke. Pencarian ini belum berakhir, kawan. SEMANGAT MENCARI :) Jatinangor, 14 Desember 2014 with love,

Manusia. Berbeda

Manusia.... Mereka berbeda, begitu juga aku. Aku, kamu, kita... Yakinkah sama? Benarku, belum tentu benarmu. Benarmu, belum tentu benarku. Lihatlah! Kamu mampu melakukannya! Tapi belum tentu aku mampu. Dan ini! Aku mampu menjalankannya! Tapi belum tentu kau mampu. Sobat, kita sama, tetapi berbeda. Aku di bawah atau kau di atas? Kamu di bawah atau aku di atas? Kawan, Setiap manusia diciptakan dengan keunikannya sendiri, tapi karena itu manusia harus saling melengkapi. Jatinangor, 24 November 2014. Ditulis oleh Annisa Tauziri dalam buku cokelat Nisrina.

Pernah

Hei, apakah kamu pernah bermimpi? Aku juga pernah. Apa pernah kamu jatuh cinta? Aku pun begitu. Kalau masa depan, pasti kamu pernah kepikiran tentangnya, kan? Begitu pula denganku. Dan jika kamu bertanya kembali padaku, apakah jawaban dari semua pertanyaanku. Jawabanku semua sama, "Pernah, yaitu kamu." Jatinangor, 12 Desember 2014. with love, White Rose ♥
Image
Bila ada sesuatu yang tak pernah terungkapkan, mungkin itu adalah perasaan. -Kurniawan Gunadi

Dua Puluh Tahun

Dua puluh tahun. Seperlima abad. Dua puluh tahun. Memang tidak terasa, tiba-tiba saja umur saya sudah menjajaki kepala dua. Rasanya seperti baru kemarin saya masih duduk di bangku SMA. Kayaknya kemarin lusa saya masih berseragam putih abu-abu, berspatu kets, dan bergesper osis di rok remple abu-abu saya. Dua puluh tahun. Rasanya baru kemarin saya setiap hari bangun pukul 5 pagi, dan berangkat sekolah sebelum pukul 7. Rasanya baru kemarin saya jatuh cinta dengan teman sekelas saya di SMA. Rasanya baru kemarin ayah saya dipanggil Tuhan. Dan rasanya baru kemarin usia saya 17 tahun. Dua puluh tahun. Cepat sekali ya waktu berjalan. Seperti tidak pernah mau menungguku berjalan. Ia memaksaku untuk berlari. Aku pun sampai terengah-engah mengejarnya. Dua puluh tahun. Target saya tahun ini tidak muluk-muluk, menjadi pribadi yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Jangan kau kira itu sesuatu yang mudah dicapai, kawan. Seumur hidup, saya merasa diri saya justru semakin memburuk.

Semester Lima

Semester lima. Semester lima itu katanya hectic. Semester lima itu katanya stress. Semester lima itu katanya bikin gila. Semester lima itu katanya galau jodoh. Semester lima itu katanya sangat melelahkan. Lika-liku dunia perdoktergigian, semuanya ada di semester lima. Praktikum Konservasi Gigi, Pedodonsia, Orthodonsia, Prosthodonsia, serta Radiologi. Saat-saat dimana otak dipaksa untuk bekerja lebih. Tangan-tangan saling berkompetisi menunjukan kemampuan yang terbaik. Ada yang hanya sekali membuat langsung jadi, biasanya disebut tangan Tuhan. Tangan yang mempunyai bakat tanpa perlu berusaha keras. Ada pula yang memerlukan usaha lebih, bahkan membutuhkan uluran tangan penjaga laboratorium. Tetapi semua ini bergantung pada dosen. dosen penjaga, penilai, pengomentar, penentu kelulusan kami, mahasiswa FKG. Lelah? Tentu saja. Setiap hari berangkat pukul 7 pagi, pulang pukul 4 sore. Seperti anak SMA, bukan? Tidak seperti yang kau pikirkan, kawan. Mereka yang berseraga

Pintu Masuk

Ah sial. Kenapa sih kamu harus tertanam di pikiranku? Apakah aku pernah memintamu untuk tinggal di sini? Bagaimana caranya kamu masuk dan mengetuk pintu hatiku? Siapa yang mengizinkan kamu datang dan mengisi kekosongan hidupku? Aku? Haha. Aku bahkan tidak pernah mempersilakan seseorang melewati ambang batas ketentraman jiwaku. Membiarkan seorang lawan jenis melayang-layang di otakku. Membuat sebuah ilustrasi kehidupan di masa depan. Ah, kapan sih kau pernah izin bertanya padaku untuk memasuki relung hatiku? Bahkan mengetuk saja tidak pernah kau lakukan. Lalu, mengapa? Mengapa kau dapat melewati palang hati yang sudah kujaga dengan ketatnya? Apakah kamu pernah melunakan besi? sehingga melunakan hati pun jadi lebih mudah? Mengapa semua ini bisa terjadi? Bumbu apa yang kau gunakan untuk meracik perasaan itu? Ah sudahlah, tulisan ini terlalu pusing untuk dibaca. Terima kasih sudah mempermainkan perasaanku. Terima kasih sudah masuk dan memberi warna. With love, White Ros

Singgah

Selama aku masih menghembuskan nafas, ada kalanya seseorang datang untuk sekedar singgah. Mereka yang memberikan warna dalam gelapnya hidup, meneteskan air dalam kemarau cinta, atau menyelamatkan diri ini dari kobaran kejahatan. Hanya untuk singgah sementara. Jika kamu melihat ke depan, dapatkah kamu menebak siapa yang akan datang untuk menetap selamanya atau singgah untuk sementara? Kita bukan Tuhan, yang punya segudang rencana untuk umat-Nya dan dapat dijalankan sesuai kehendak-Nya. Jika aku menginginkan dia-lah yang akan bertahan, apakah aku dapat memaksa-Nya? Jika aku memiliki rencana untuk tetap bersamanya, apakah akan berjalan sesuai keinginanku? Bisa saja kan Tuhan mempunyai sesuatu hal menakjubkan, yang bahkan diri kita sendiri tidak ketahui. Singgah atau bertahan, bukan diriku yang menentukan. Cobalah kau tanya pada Tuhan, ajaklah Ia berdiskusi. Insha Allah kita akan selalu bersama, jika memang garis takdirnya seperti itu. Jika tidak, terima kasih pernah berteduh di hidupk

Adik Laki-laki

Siang tadi aku sedang memamerkan foto adik laki-lakiku kepada beberapa teman sekelas. Lalu, aku duduk berhadapan dengan sahabatku. Tiba-tiba ia bertanya, "Mengapa sih kakak perempuan sering sekali membangga-banggakan adiknya. Tetapi, ketika dalam kehidupan sehari-hari, di rumah misalnya, mereka justru bersikap biasa saja, seakan-akan tidak pernah melakukan hal tersebut." Aku lalu terdiam dan menatapnya. "Apakah mbakmu juga seperti itu?" tanyaku penasaran. "Iya. Aku selalu dibanggakan di depan teman-temannya. Tetapi ketika ia berada di rumah, sikapnya berubah 180 derajat. Ia menjadi sangat usil, suka mengerjai aku yang sedang belajar, contohnya. Aku jadi bingung sendiri dengan sikapnya." jawabnya sembari mengetik di laptopnya. Aku sempat kehabisan kata dan bingung dalam menjawab pertanyaannya. Kemudian, bayangan adikku terlintas di kepalaku. "Mbakmu senang membanggakanmu karena mungkin dirimu memang patut dibanggakan. Banyak sekali prestasi yang ka

Suka, Cinta, Rindu, dan Doa

Bagaimana bisa, sebuah perasaan suka bisa bertahan sejauh ini? Setahuku, jika kita menyukai seseorang lebih dari tiga bulan, maka perasaan itu berubah menjadi cinta. Sedangkan perasaan yang kumiliki saat ini sudah hampir mencapai tahun ketiga. Apa benar perasaan yang kumiliki saat ini namanya cinta? Ah Tuhan, aku tidak yakin. Ya, aku tidak yakin bahwa aku mencintainya. Inikah yang mereka sebut rindu? Ketika aku hanya dapat menatap gambaran diri dalam sebuah foto. Ya, hanya melihat foto dirinya saja, bahkan tidak bercengkrama sama sekali. Rindu ini sudah membuncah. Rindu untuk bertemu, rindu bertatap muka, bahkan rindu ketika bercakap-cakap. Kapan terakhir kali kita berbicara empat mata? Bukan kemarin, bukan minggu lalu, bukan bulan lalu, bukan pula tahun lalu. Terus kapan? Sejujurnya, aku tidak pernah mengingatnya. Mungkin ketika kita lulus wisuda? Atau ketika ujian nasional? How pathetic you are, girl. Dan ketika sebuah pesan singkat itu muncul, perasaanku mungkin masih tetap sama.

Teruntuk Teman-Teman SD-ku

Image
8 tahun yang lalu, ketika seragam putih merah tidak lagi menjadi pakaian sehari-hari yang aku kenakan saat berangkat ke sekolah. Masih teringat jelas dalam benakku, wajah kalian yang masih imut, polos, dan tak tahu apa-apa. Raut wajah anak usia 12 tahun yang baru saja melepas statusnya sebagai murid sekolah dasar. Wajah mereka yang aku sendiri pun tidak tahu, apakah nanti, 5-10 tahun yang akan datang masih seperti saat itu ataukah sudah banyak perubahan. Kalian adalah teman-teman terbaik yang pernah aku miliki. Menghabiskan 6 tahun bersama kalian dalam satu ruangan, melalui serangkaian masa kecil bersama kalian. Membuatku berpikir, ada yang tidak dapat diganti dari semua itu, yaitu kebersamaan. Mungkin aku pernah galak, jutek, sinis, manja, atau meremehkan salah satu dari kalian, tapi percayalah, dulu aku hanyalah seorang siswi sekolah dasar yang masih belum paham mengenai hakikat. Kita pun masih sama-sama kecil saat itu. Maafkan kekhilafanku, sobat. Kini, setelah usiaku

Salahkah?

Seiring bergulirnya waktu, semakin bertambahnya rutinitas harian, serta menumpuknya beban pikiran. Aku kira rasa itu sudah benar-benar lenyap tak bersisa. Tetapi realita tetaplah realita, berbanding terbalik dengan imajinasi, memusnahkan daya khayal manusia, mengangkat fakta dunia. Hati yang berusaha kususun rapi, mencair kala melihat senyum dari sudut bibirnya. Pandangan yang berusaha kusimpan, tak mampu lagi menahan pesona garis matanya. Salahkah aku jika masih memiliki rasa itu? Ketentraman saat berada di sisimu, kenyamanan ketika bersandar di pundakmu, serta kehangatan dikala bercakap denganmu. Salahkah memori otakku masih menyimpan kenangan itu? Punggungnya yang bidang sebagai pengganti bantal bagiku. Senyum simpulnya sebagai penyejuk tangisku. Selera humor rendahnya sebagai pelipur laraku. Ah, aku memang salah selalu menengok ke belakang. Padahal jalan di depan masih terbentang. Aku menyadari aku salah. Tetapi aku tetap bertahan. With love, White Ro

Stasiun Pasar Senen

            Jam berdentang menunjukkan pukul 4 sore, matahari telah menurun sampai 50’ aku masih terduduk di atas koper kotak-kotak cokelatku di belakang gerbang masuk peron. Sebenarnya banyak tempat duduk kosong, entahlah aku hanya merasa nyaman duduk menyelojor di bawah. Menikmati kesendirianku di sini, berada jauh dari keramaian yang asing. Tiba-tiba ada serombongan keluarga besar datang. Ada ibu, bapak, nenek, dua anak laki-laki, tiga anak perempuan. Sepertinya mereka hendak pulang kampung, dari bahasa Jawa yang mereka ucapkan dan barang bawaan mereka yang terbilang banyak. Dan… mereka berhenti tepat di sebelah kananku, menggeser sedikit tempat dudukku sehingga akupun semakin berada dekat tempat sampah. Huh, kan aku yang lebih dahulu duduk di sini!             Aku masih mengamati mereka satu persatu. Oh, anaknya tertua mereka laki-laki, dan ia baru saja pulang dari kantornya tanpa mengganti pakaian kerjanya karena takut terlambat kereta. Ia hanya menambahkan jaket di atas