Cerpen: untuk Kakak Terbaik

Sepeda motor melaju kencang, aku memeluk erat kakakku dari belakang. Aku benci betul dengan motor sport kakakku ini karena sangat tidak nyaman untuk duduk dibelakang. Itu membuatku harus memeluk kakakku, mungkin orang mengira kami adalah sepasang kekasih.
“Hai Adik sayang, jangan tidur!”kakakku tiba-tiba menyentak.
“Eh enak aja! Kakak jangan ngebut, pegel nih dibelakang,”jawabku ketus.
“Salah sendiri gak bisa pakai motor kakak ini,”ujarnya.
“Yeee, jual aja ganti yang matic biar bisa gantian,”aku semakin ketus.

Kami berhenti diperempatan dekat sekolah SMA kami dulu. Sebuah mobil berhenti disebelah kami. Terlihat di dalamnya ada sepasangan suami istri juga orang tuanya. Terlihat begitu bahagia, meski aku tidak mendengar apa yang mereka katakan. Aku tersenyum. Aku menghela nafas.
Mobil itu berjalan, kami pun. Aku memerhatikan kakaku dari belakang, memerhatikan kepalanya yang tertutup helm full-face, memerhatikan tangannya yang memegang stang motor, memerhatikan bahunya. Tiba-tiba aku merasa sayang dengan kakakku ini, aku tersenyum.
Aku memeluk kakak dari belakang.
“Kak, pelan-pelan dong,"aku merajuk.

Sekalipun kami bertengkar, sebenarnya kakakku ini sulit menolak keinginanku kecuali urusan sepeda motor ini.
"Kak, kakak kalau nyari istri nanti yang baik ya, Kak.”
“Eh, ngomong apaan?” kakakku kaget. 
Ia tidak menghiraukanku. Aku terus berbicara.
“Kak, kemarin adik kan ngaji. Kalau udah nikah, adik harus lebih taat sama suami daripada sama ayah dan ibu. Lalu adik mikir, berarti sebenarnya tanggungjawab buat ngurus ayah dan ibu itu ada sama menantu perempuan dan anak laki-lakinya. Kalau laki-laki menikah, ketaatan dengan orang tuanya tidak berpindah, berbeda dengan perempuan. Adik pengen kakak kalau nyari menantu buat ayah dan ibu, cari yang baik ya Kak. Perempuan yang sayang sama mereka, yang bisa membantu kakak buat ngurus ayah sama ibu nanti. Karena mungkin adik tidak bisa berada lebih banyak untuk mereka.”
Kami terdiam.
“Adik kadang berpikir, mengapa perempuan harus seperti itu. Namun, adik mengerti dengan melihat bagaimana ibu selama ini ketika menjadi istri ayah.”
Kakakku diam saja, aku masih memeluknya, berbicara di dekat telinganya yang tertutup helm. Aku tahu dia masih bisa mendengar.

“Kak, berjanjilah untuk mencari perempuan yang baik. Tidak hanya baik kepada kakak, tapi juga sama ayah dan ibu. Perempuan yang sayang sama mereka, yang menghormati mereka, yang lembut dan menghargai mereka.”
Tiba-tiba kakakku menepi, menghentikan sepeda motornya. Aku melepas pelukan, heran. Dia membuka helmnya lalu menoleh. Dia tersenyum, mengelus kepalaku yang masih memakai helm.
Kami melanjutkan perjalanan. Aku memeluk kakaku semakin erat, seolah-olah takut kalau dia diambil sama orang lain. Tapi aku sadar bahwa suatu hari kakaku pasti akan diambil orang lain. Perhatiannya kepadaku mungkin tidak akan seperti hari ini lagi.
“Kak, aku sayang kakak. Cariin suami yang baiknya kayak kakak dong.”
Rumah, 21 April 2016 | ©kurniawangunadi

.

.
.
.
.
.
Dear, Perempuan.

Coba kamu renungkan kembali, apakah kamu sudah merasa menjadi perempuan baik? Terutama berlaku baik kepada kedua orang tuamu. Mau sebaik apapun kamu terhadap orang lain, apabila kamu masih mengabaikan perintah orang tuamu yaa sama saja bohong. Jika kamu taat kepada orang tuamu, pasti orang tuamu tak akan ragu memberikan segala restunya. Kedua orang tuamu memiliki restu terbaik dari restu apapun yang terdapat di dunia ini. Bahkan Tuhan pun mengatakan bahwa restu-Nya Ia titipkan pada orang tuamu.


 Dear, Perempuan.

Jika kamu berpikir kamu adalah perempuan yang baik, coba kamu renungkan kembali. Apakah kebaikanmu cukup untuk mengantar suamimu kelak ke surga-Nya?


Dear, Perempuan.

Yuk, kita sama-sama menjadi perempuan baik. Namun pastikan lagi, tujuannya bukan untuk mendapatkan suami seperti Kakak tadi, tapi untuk menjadikanmu perempuan yang baik di mata Allah.



Dago Pojok, 25 April 2016
-White Rose-

Comments

Popular posts from this blog

Aku ingin Tinggal di Istana

Hiduplah karena Ingin Hidup

Sepatu Favorit