Bapak dan Nasihatnya
Sore itu, selepas sholat ashar di masjid kompleks perumahan. Dua orang lelaki duduk di ruang keluarga sebuah rumah bertipe minimalis. Rumah yg tidak besar, tidak juga kecil, namun cukup untuk keluarga kecil itu.
"Pak, aku kan sudah solat tepat waktu di masjid, pake rawatib pula, sering solat malam, dhuha-ku gak pernah putus, tiap maghrib dan subuh aku selalu tilawah, sedekahku juga inshaAllah setiap ada rezeki. Tapi kenapa ya, Pak, Allah gak mengabulkan doa yang telah aku panjatkan? Aku merasa seluruh usahaku selama ini sia-sia." tanyaku, seorang remaja laki-laki berusia 15 tahun yang mencoba membuka percakapan dengan Bapak.
"Kamu melakukan semua ibadah itu untuk apa tujuannya?" lelaki yg kusebut Bapak itu bertanya balik padaku. Ia tidak membenarkanku, tidak pula menyalahkanku.
"Hmm, supaya Allah mengabulkan doa-doaku, Pak!" jawabku cepat.
"Agar doa kamu dikabulkan, ada sesuatu apa sih yang harus kamu dapatkan terlebih dahulu?" Bapak bertanya lagi kepadaku.
Aku terdiam, bingung menjawab pertanyaan Bapak. Agar tak terlihat bodoh, aku pura-pura menunjukkan wajah sedang berpikir keras mengenai pertanyaan Bapak.
"Begini, Nak. Kalau kamu ingin dibelikan suatu mainan sama Bapak, biasanya apa yang kamu lakukan?" dengan perlahan Bapak menjelaskan kepadaku.
"Tapi, Pak, aku kan sudah besar dan tidak ingin dibelikan mainan lagi." jawabku sedikit kritis.
Sang Bapak terkekeh, "Contohnya, Nak."
.
"Apa ya, Pak. Mendekati Bapak? Meminta izin? Bantuin Bapak mencuci mobil, mengurus kebun. Pokoknya berbuat kebaikan yang banyak, biar hati Bapak luluh."
"Itu namanya meminta ridho, Nak. Kalau Bapak ridho terhadap apa yang telah kamu kerjakan, Bapak pasti akan mengabulkan permohonanmu. Betul, gak?" tanya Bapak.
Aku mengangguk pelan. Mencoba memahami arah pembicaraan Bapak.
"Pernah gak, Bapak gak memberikan apa yang kamu inginkan?" lanjut Bapak terus bertanya, mungkin Bapak berharap aku mengerti dengan sendirinya.
"Kamu melakukan semua ibadah itu untuk apa tujuannya?" lelaki yg kusebut Bapak itu bertanya balik padaku. Ia tidak membenarkanku, tidak pula menyalahkanku.
"Hmm, supaya Allah mengabulkan doa-doaku, Pak!" jawabku cepat.
"Agar doa kamu dikabulkan, ada sesuatu apa sih yang harus kamu dapatkan terlebih dahulu?" Bapak bertanya lagi kepadaku.
Aku terdiam, bingung menjawab pertanyaan Bapak. Agar tak terlihat bodoh, aku pura-pura menunjukkan wajah sedang berpikir keras mengenai pertanyaan Bapak.
"Begini, Nak. Kalau kamu ingin dibelikan suatu mainan sama Bapak, biasanya apa yang kamu lakukan?" dengan perlahan Bapak menjelaskan kepadaku.
"Tapi, Pak, aku kan sudah besar dan tidak ingin dibelikan mainan lagi." jawabku sedikit kritis.
Sang Bapak terkekeh, "Contohnya, Nak."
.
"Apa ya, Pak. Mendekati Bapak? Meminta izin? Bantuin Bapak mencuci mobil, mengurus kebun. Pokoknya berbuat kebaikan yang banyak, biar hati Bapak luluh."
"Itu namanya meminta ridho, Nak. Kalau Bapak ridho terhadap apa yang telah kamu kerjakan, Bapak pasti akan mengabulkan permohonanmu. Betul, gak?" tanya Bapak.
Aku mengangguk pelan. Mencoba memahami arah pembicaraan Bapak.
"Pernah gak, Bapak gak memberikan apa yang kamu inginkan?" lanjut Bapak terus bertanya, mungkin Bapak berharap aku mengerti dengan sendirinya.
"Pernah, Pak! Waktu itu aku ingin sekali dibelikan Hot Wheels edisi terbaru, tapi Bapak justru membelikan aku sepeda. Padahal aku sudah membantu Bapak di kebun, mencuci mobil, mengantar Bapak ke bengkel. Saat itu kukira Bapak pasti akan membelikanku Hot Wheels." jawabku sembari membongkar kenangan masa lalu. Sedikit kesal rasanya mengingat kejadian itu.
"Trus sekarang sepedanya masih kamu pakai, kan?" tanya Bapak lagi. Kali ini, nada bicaranya tidak seserius di awal pembicaraan.
"Masih dong, Paaak." jawabku bersemangat. "Justru sepeda itu berguna banget, aku jadi sehat pula, soalnya aku ke sekolahnya kan naik sepeda."
Bapak mengangguk ringan.
"Bapak juga tetap membelikanmu Hot Wheels kan dilain kesempatan?" pertanyaan Bapak tidak juga berhenti, batinku.
"Iya, Pak. Walaupun aku harus menahan keinginanku selama 2 bulan."
Sedetik kemudian, aku terdiam. Kutatap wajah bapak lekat-lekat.
"Terima kasih, Bapaak. Sekarang aku mengerti bahwa gak ada usaha yang sia-sia. Allah pasti juga mendengar doaku kan, Pak? Kalaupun doaku tidak dikabulkan saat ini, mungkin sekarang ada hal lain yg jauuuuh lebih baik yang sedang Allah persiapkan untukku." ujarku sambil menyunggingkan senyum paling manis yang jarang kuberikan pada siapapun.
"Bapak emang Bapak terbaiiiiik yang ada di dunia ini. Pak, kalau gitu, aku izin pergi ke rumah teman dulu, ya, Pak. Mau mengerjakan tugas. Boleh, ya, Pak?
"Haha. Bisa saja kamu meminta ridho Bapak. Hati-hati, ya, Nak. Jangan pulang larut malam."
"Baik, Pak. Assalamualaikum." kataku sambil mencium tangan Bapak lalu berlari menuju luar rumah.
"Waalaikumsalam." jawab Bapak sambil menaikan sudut bibir yang tak sempat kulihat.
Depok, 30 September 2017
-White Rose-
Comments