Stunting, Telur, dan Pak Jokowi (2)
Kemarin gue sudah membahas mengenai perjalanan dinas dan rapat untuk mengendalikan angka stunting. Kali ini gue ingin membahas mengenai telur.
Menurut WHO tahun 2020,
stunting adalah pendek atau sangat pendek berdasarkan panjang/tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2 standar deviasi (SD) pada kurtumbuhan WHO yang terjadi dikarenakan kondisi irreversibel akibat asupan nutrisi yang tidak adekuat dan/atau infeksi berulang/kronis yang terjadi dalam 1000 Hari Pasca Kelahiran (HPK).
Definisi ini gue kutip dari website Direktorat Jendral Pelayanan Kesehatan (DitJenNaKes) di https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1388/mengenal-apa-itu-stunting
Dari definisi tersebut, sebenarnya sudah jelas bahwa penyebab terjadinya stunting adalah asupan nutrisi yang tidak adekuat. Kondisi tersebut irreversibel, atau permanen. Beberapa minggu yang lalu, gue sempat mengikuti kegiatan program Gizi Puskesmas ke salah satu desa di wilayah kerja Puskesmas gue yang merupakan lokus stunting. Gue melihat melalui kedua mata gue kondisi balita stunting, bahkan gue juga melihat bayi berusia tiga bulan yang mengalami gizi buruk. Penyebabnya sangat jelas, asupan gizi balita di desa memang sangat kurang. Bukan karena petugas Puskesmas atau kader Posyandu yang tidak bekerja dengan baik. Namun, akses makanan ke desa yang sangat sulit. Ditambah, pekerjaan orang tua dari balita stunting ini hanya sebagai petani di ladang, yang pendapatannya tidak menentu. Sehingga, walaupun petugas Gizi dari Puskesmas telah memberikan materi, bahkan mereka sudah melakukan demo masak untuk ibu-ibu kader Posyandu dan orang tua dari balita stunting. Para orang tua ini tetap tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi anak mereka sesuai dengan "Isi piring-ku"yang dicanangkan oleh Kementrian Kesehatan.
Semakin tinggi tingkat kemiskinan suatu keluarga, maka semakin tinggi pula prevalensi terjadinya stunting pada balita dalam keluarga tersebut.
Ada satu bayi gizi buruk, yang saat gue periksa kondisinya sangat mengenaskan. Jika pernah melihat di berita atau Kitabisa.com, ada manusia yang memiliki tulang berlapis kulit. Nah, begitulah kira-kira kondisi bayi gizi buruk tersebut. Bagaimana tidak, bayi tersebut sejak lahir tiga hari sudah dibawa oleh ibunya ke ladang untuk bekerja. Tinggal di ladang, tanpa makanan yang cukup baik bagi ibunya. Wajar pula jika ASI ibu tidak keluar. Apa yang bisa dimakan di ladang? Nutrisi ibunya tidak terpenuhi dengan baik. Bahkan, sang ibu juga menderita dermatitis dan tuberkulosis. Sang bayi pun juga mengidap keduanya. Sudah diberi informasi untuk datang ke puskesmas pembantu di sebrang sungai. Namun, orang tuanya tidak pernah berangkat untuk sekedar mengambil obat untuk bayinya. Entah karena merasa tidak penting atau merasa bahwa bayinya baik-baik saja.
Sungguh, ironi sekali negeri ini.
(Lanjut bagian ketiga)
Puruk Cahu, 18 Juni 2023
-nisrinaqotrun-
Comments